Makna Tauhid
Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Mei 2017 | 5/30/2017 11:11:00 PM
Makna Tauhid Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: … By Yulian Purnama |
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja. Pembagian Tauhid Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat. Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1) Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61) Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir. Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah) Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ “Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5) Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ “Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36) Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah). Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah?? Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya: وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180) Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’. Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana. Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain. Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11) Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya. Pentingnya mempelajari tauhid Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4). Sumber Artikel Muslim.or.id Aqidah - akidah- makna tauhid - Tauhid |
Faedah Surat Yasin: Jika Dipanjangkan Umur
Written By Rachmat.M.Flimban on 24 Mei 2017 | 5/24/2017 10:00:00 AM
Faedah Surat Yasin: Jika Dipanjangkan Umur Satu lagi faedah dari surat Yasin mengenai umur manusia. Oleh. Muhammad Abduh Tuasikal |
Satu lagi faedah dari surat Yasin mengenai umur manusia. وَلَوْ نَشَاءُ لَطَمَسْنَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَأَنَّى يُبْصِرُونَ (٦٦)وَلَوْ نَشَاءُ لَمَسَخْنَاهُمْ عَلَى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوا مُضِيًّا وَلا يَرْجِعُونَ (٦٧)وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلا يَعْقِلُونَ (٦٨) 66. dan Jikalau Kami menghendaki pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan, Maka betapakah mereka dapat melihat(nya). 67. dan Jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah mereka di tempat mereka berada; Maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali. 68. dan Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan Dia kepada kejadian(nya)[1271]. Maka Apakah mereka tidak memikirkan? Ayat Mutiara Ayat
Yang dimaksud dalam penjelasan no. 4 sama dengan ayat, الله الذي خلقكم من بعد ثعف قوة ثم جعل من بعد قوة ضعفا وشيبة يخلق ما يشاء وهو العليم القدير "Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia membuat (kamu) yang keadaannya lemah kuat, kemudian Dia membuat (kamu) yang kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa ."(QS. Ar-Ruum: 54) Referensi: Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim , Ibnu Katsir, 6: 352. Tafsir As-Sa'di , Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, hlm. 739. [1271] Maksudnya: kembali menjadi lemah dan kurang akal. Sumber : Rumaysho.com |
Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung 4
Written By Rachmat.M.Flimban on 17 Mei 2017 | 5/17/2017 06:03:00 AM
Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (2)
Written By Rachmat.M.Flimban on 16 Mei 2017 | 5/16/2017 03:59:00 AM
Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (1)
Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (1)
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan,
By Sa'id Abu Ukkasyah 27 June 2016
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, bahwa pokok syukur adalah mengakui nikmat dari Sang Pemberi nikmat dalam bentuk tunduk, merendahkan diri kepada-Nya, dan mencintai-Nya
Allah telah menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya nikmat yang banyak yang tak bisa kita hitung, Allah berfirman :
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
(34) Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim: 34).
Nikmat Allah yang dianugerahkan kepada orang-orang yang beriman sangatlah banyak, baik nikmat agama maupun duniawi. Allah telah memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, berupa akal, badan dan rezeki yang baik.
Allah juga telah menundukkan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi untuk mereka. Allah menganugerahkan semua nikmat ini, agar hamba-hamba-Nya bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya semata, tidak menyekutukan-Nya, agar mereka memperoleh ridha-Nya, sehingga masuk kedalam surga-Nya dan melihat wajah-Nya. Di antara kenikmatan Allah yang sangat besar adalah disyari’at-kannya puasa Ramadhan yang diberkahi ini, bahkan Allah menjadikannya sebagai salah satu dari lima rukun Islam.
Hal ini karena puasa Ramadhan adalah anugerah Allah yang agung, maka pantaslah jika Allah tutup beberapa ayat tentang puasa Ramadhan dengan firman Allah Ta’ala,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Al-Baqarah:185).
Pokok Syukur dan Hakikatnya Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, bahwa pokok syukur adalah mengakui nikmat dari Sang Pemberi nikmat dalam bentuk tunduk, merendahkan diri kepada-Nya, dan mencintai-Nya. Maka, barangsiapa yang tidak mengenal nikmat, bahkan masa bodoh dengannya, maka ia tidak mensyukurinya. Barangsiapa yang mengenal nikmat, namun tidak mengenal Sang Pemberi nikmat, maka ia tidak mensyukurinya juga.
Barangsiapa yang mengenal nikmat dan Sang Pemberi nikmat, akan tetapi mengingkarinya, sebagaimana seseorang mengingkari nikmat Sang Pemberi nikmat, maka berarti ia telah mengkufurinya.
Barangsiapa yang mengenal nikmat dan Sang Pemberi nikmat, dan ia mengakuinya tak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk kepada-Nya, tak mencintai-Nya, tak ridha kepada-Nya dan tidak ridha dengan nikmat tersebut, maka iapun tidak mensyukurinya.
Barangsiapa yang mengenal nikmat dan Sang Pemberi nikmat, dan ia tunduk kepada-Nya, mencintai-Nya, ridha kepada-Nya dan ridha dengan nikmat tersebut, iapun menggunakannya dalam perkara yang dicintai-Nya dan dalam ketaatan kepada-Nya, maka inilah profil orang yang mensyukuri nikmat! (Thoriqul Hijratain, Ibnul Qoyyim, hal. 175).
[bersambung ; Bulan Ramadhan Anugerah Allah Yang Agung (2) ]
Sumber Artikel ; Muslim.or.id
Fiqh, Islam tidak menganggap All Non-Muslim
Written By Rachmat.M.Flimban on 15 Mei 2017 | 5/15/2017 08:13:00 PM
info@cpsglobal.org (link mengirimkan e-mail) .
AQIDAH, Dakwah Anti Syirik
Dakwah Anti Syirik
By: Muhammad Abduh Tuasikal
Kategori: Aqidah
Dakwah anti syirik seharusnya menjadi prioritas utama daripada pengingkaran maksiat lainnya seperti korupsi, berzina dan pembunuhan. Karena syirik berkaitan dengan hak Allah, juga merupakan larangan dan tindak kezholiman yang paling besar. Sedangkan dosa korupsi masih menempati urutan di bawahnya.
Kita dapat mengambil pelajaran bahwa mendakwahi masyarakat untuk menjauhi syirik lebih diutamakan daripada perkara lainnya dari hadits berikut berikut ini. Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata,
لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, ia pun berkata padanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah dakwah engkau pertama kali pada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabari mereka bahwa Allah telah mewajibkan pada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah shalat, maka kabari mereka, bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka. Jika mereka menyetujui hal itu, maka ambillah dari harta mereka, namun hati-hati dari harta berharga yang mereka miliki.” (HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19).
Beberapa faedah dalam hadits di atas:
Disyari’atkan mengutus da’i untuk mendakwahkan tauhid.
Yang dijadikan prioritas wajib dan utama dalam dakwah adalah mendakwahkan kalimat laa ilaha illallah yang konsekuensinya beribadah pada Allah saja dan menjauhi kesyirikan.
Makna syahadat laa ilaha illallah adalah mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam ibadah dan meninggalkan peribadahan pada selain Allah. Islamnya orang kafir barulah terbukti dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Sebagaimana ahli kitab, maka seseorang bisa saja membaca dan mengetahui namun tidak paham akan makna laa ilaha illallah, atau tahu tetapi tidak mau mengamalkannya.
Mendakwahi orang yang berilmu seperti ahli kitab berbeda dengan mendakwahi orang jahil.
Seseorang yang berdakwah hendaklah membekali diri dengan ilmu agar selamat dari pemikiran menyimpang.
Shalat merupakan amalan yang utama setelah dua kalimat syahadat.
Zakat merupakan amalan yang utama setelah shalat.
Di antara penerima zakat adalah orang fakir. Dan hadits di atas menjadi dalil bolehnya mencukupkan penyaluran zakat pada orang fakir saja.
Tidak boleh mengambil zakat dari harta yang berharga -yang dituntut adalah yang pertengahan- kecuali dengan ridho pemiliknya.
Alhamdulillah, moga Allah beri hidayah.
Referensi:
Al Mulakhosh fii Syarh Kitabit Tauhid, -guru kami- Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1422 H, hal. 56.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu
Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Mei 2017 | 5/14/2017 06:00:00 AM
Hadits Pertama
“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).
Al’ Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 127).
Hadits Kedua
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).
Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, “Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits:
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur.”
Dan hadits,
“áæ ÃÍÓä ÃÍÏßã Ùäå ÈÍÌÑ äÝÚå”
“Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” (Ighatsatul Lahfaan (1/243)).
Hadits Ketiga
Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu ‘anhu wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).
Hadits Keempat
Dari Abu Sa’id Al Khudry secara marfu’:
Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo’a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya’ dan sum’ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000 malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha’ifkan Al Allamah Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal. 99).
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perkataan, ‘Aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu’, diriwayatkan oleh Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo’a kepada Allah adalah Allah kabulkan do’a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada Allah adalah Allah memberikan pahala padanya. Hak ini Dia tetapkan atas diri-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186)
Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya, sehingga persis do’a berikut ini:
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau.” (QS. Ali Imran: 194)
Dan seperti do’a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut.” (Majmu’ Fatawaa (1/369)).
Al ‘Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya, sesungguhnya hadits ini dha’if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat kedha’ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha’ifkan oleh Al Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu gampang dalam menilai hadits).” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah (1/38) nomor 24).
Hadits Kelima
Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu’:
Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan tetapi Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan hadits ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri tidak diketahui jati dirinya.”)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
Hadits Keenam
Dari Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:
“Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan) orang-orang melarat dari kaum Muhajirin.” (Diriwayatkan Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/269 dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya 2/26; Dalam Al Isti’ab 1/38, Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurutku tidaklah benar kalau Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga hadits di atas adalah hadits yang mursal.” Al Hafizh dalam Al Ishobah 1/133 berkata, “Umayyah bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang kuat.” Al Albani dalam At Tawassul hal. 111 mengatakan, “Pokok permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah hadits mursal dha’if.”)
Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).
Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)
Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.
Hadits Ketujuh
Dari Abdullah ibn Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian.” (Diriwayatkan oleh An Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at 2/404).
Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at 2/404-406).
-bersambung insya Allah-
***
Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Smber Artikel ; Muslim.or.id
Aqidah, Hadits, Hadits Lemah dan Palsu, Syirik
Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang
Ini Dalilnya (17): Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang Tawassul Para Sahabat
Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam pembahasan ini,
Novel kembali memakai cara lamanya dalam berdalil…
lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah …
By Sufyan Basweidan, 6 December 2011
Tawassul Para Sahabat Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam pembahasan ini, Novel kembali memakai cara lamanya dalam berdalil… lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah ke permasalahan. Hadits tersebut terkenal dengan istilah “hadietsul a’ma” (haditsnya Si orang buta). Novel mengatakan (hal 122-123): Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
Terjemahannya (versi Novel): “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Novel mengatakan (hal 123): “Saudaraku, dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya sejumlah sahabat menggunakan tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan ‘Utsman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. ‘Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di Masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina ‘Utsman”. Kemudian Novel menukil doa yang dimaksud.[1]
Jawabnya, cerita yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani di atas adalah dha’if [2], berikut ini penjelasan Syaikh Al Albani setelah mentahkhrij hadits tersebut, beliau mengatakan: “Kesimpulannya, kisah ini dhaif dan munkar karena tiga hal: pertama, lemahnya hafalan perawi yang sendirian meriwayatkan cerita ini[3]; Kedua, adanya kontroversi matan hadits dari jalur perawi tersebut[4] dan ketiga, perawi tersebut menyelisihi perawi lainnya yang lebih tsiqah, yang tidak meriwayatkan cerita tersebut. Satu saja dari tiga hal di atas sudah cukup menjadikan hadits ini dha’if, lantas bagaimana jika ketiga-tiganya ada semua??[5]
Sedangkan dalil lain yang disebutkan Novel adalah kisah orang Badui yang datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … dst[6]. Menggelikan memang cara Novel berdalil, dan sekaligus memprihatinkan, sejak kapan mimpi jadi dalil dalam agama? Ini hanya ada dalam kamus orang-orang Sufi, tak ada dalil, mimpi pun jadi!
Dengan demikian, kedua hadits yang disebutkan oleh Novel tidak ada yang sah dijadikan dalil.
Tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas
Kali ini, Novel menggunakan dalil tipe kedua yang pernah saya singgung sebelumnya. Yaitu hadits shahih yang tidak sharih, alias tidak berkaitan dengan topik yang dibahas. Ia mengatakan (hal 125-126):
“Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:
اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka semua.
Di atas disebutkan dengan jelas bahwa Sayidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayidina ‘Umar bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tunanetra di masa pemerintahan Sayidina ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu”.
Saya katakan, justru pendapatmu lah yang tidak benar hai Novel. Karena dalil-dalil yang kau gunakan dha’if semua, bahkan sangat dha’if dan palsu.
Kemudian Novel mengatakan (hal 126): “Lalu apa maksud tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan mencontohkan kepada semua sahabat, bahwa tawassul dengan selain Nabi adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah karena kedekatan beliau radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sayidina ‘Abbas merupakan paman Rasulullah, ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Saya katakan, ini bukti kacaunya pemahaman Novel tentang tawassul. Ia tidak bisa membedakan antara tawassul yang dibolehkan dengan tawassul yang dilarang. Sebelum menjawab syubhat ini, saya harus menjelaskan kriteria tawassul yang dibolehkan dengan yang dilarang secara ringkas sebagai berikut;
Pertama: 1 tawasssul yang dibolehkan
Tawassul ini berupa satu dari tiga hal:
Pertama: Tawassul dengan Asma’ul Husna, yakni kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya. Atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau nama-nama lainnya yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا… [الأعراف/180]
“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan amal shaleh kita, bukan dengan amalan orang lain. Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah.[7]
Ketiga: Tawassul dengan minta doa dari orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita. Dalilnya adalah kisah Si tunanetra yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma[8], demikian pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta agar Rasulullah berdoa kepada Allah supaya turun hujan, dst[9]. Demikian pula tawassul Umar dengan ‘Abbas di atas.
Anda mungkin bertanya: ‘mengapa disyaratkan bahwa orang tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang disebutkan oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul Umar dengan Abbas, haditsul a’ma dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir. Kalaulah kehadiran orang tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capai-capai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Demikian pula dengan Si Arab badui.
Kedua: 2 Tawassul yang dilarang
Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang tidak ada dalilnya[10]. Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah haram kecuali jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak ada perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang melarangnya. Inilah aturan baku yang hendak dibalik oleh Novel dalam bukunya.
Contohnya: tawassul dengan jaah (kehormatan) Nabi, dengan berkat Imam Syafi’i, dan sejenisnya. Demikian pula tawassul dengan orang yang sudah mati, atau yang tidak hadir.
Bila masalah ini telah kita fahami, maka ketahuilah bahwa tawassul-nya Sayidina ‘Umar dengan Sayidina ‘Abbas, sama sekali berbeda dengan apa yang difahami oleh Novel. Makna hadits di atas ialah bahwa Umar dan para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta agar beliau mendoakan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta doa darinya.
Cobalah Saudara renungkan, ketika paceklik melanda, kiranya apakah para sahabat duduk di rumah mereka masing-masing kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan Nabi-Mu Muhammad dan segala kehormatannya di sisi-Mu, berilah kami hujan…”, atau mereka mendatangi diri Rasulullah, lalu minta doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan? Kemudian setelah beliau wafat, Umar dan para sahabat tidak lagi minta atau mendatangi kuburan Rasulullah untuk minta doa. Mengapa? Karena mereka semua orang berakal yang paham terhadap makna tawassul. Mereka tahu bahwa Rasulullah yang dahulu merupakan manusia paling manjur doanya saat beliau hidup, kini sudah wafat dan tidak bisa lagi memberi manfaat apa pun kepada mereka. Kalaulah para sahabat memahami makna tawassul seperti yang dipahami oleh Novel, lantas mengapa mereka tidak mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta doa dari beliau? Bukankah beliau jauh lebih afdhal dari pada ‘Abbas?
Novel dan siapa pun yang mengikutinya tidak akan bisa mendatangkan satu dalil pun yang shahih dan sharih (gamblang), yang menjelaskan bahwa cara tawassul yang dipraktikkan Umar dan para sahabatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada Abbas ialah dengan sekedar menyebut nama mereka dalam berdoa. Sebaliknya, demikian banyak dalil-dalil yang menjelaskan bahwa tawassul yang mereka lakukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun Abbas ialah dengan mendatangi keduanya, lalu meminta keduanya untuk berdoa kepada Allah. Di antara dalilnya ialah kisah Arab badui yang telah disinggung di atas.
Apa yang kami jelaskan ini adalah makna tawassul yang terjadi dalam kehidupan orang sehari-hari. Sebab makna tawassul secara bahasa ialah menggunakan wasilah atau perantara untuk mencapai sesuatu[11]. Misalnya ketika seorang pegawai memiliki hajat tertentu dari bosnya, dia akan mencari orang yang dikenal baik oleh bosnya untuk menghadap bos tersebut dan menyampaikan keinginannya. Kemudian perantara ini menyampaikan keinginan si pegawai kepada bosnya, baru setelah itu si Bos mengabulkan hajat si pegawai. Bukan berarti si pegawai menyebut-nyebut nama kenalan baik si bos tadi di hadapan bosnya. Demikian pula yang terjadi ketika Sayidina Umar dan para sahabat ber-tawassul dengan Abbas, maknanya ialah mendatangi ‘Abbas lalu minta doa darinya.
-bersambung insya Allah-
[1] Berhubung pembahasannya cukup panjang, kami tidak menukilkannya di sini tapi kami scan halaman yang dimaksud dalam lampiran, yaitu hal 123-125 pada buku.
[2] Yaitu cerita laki-laki yang mengunjungi Utsman bin Affan, dst. Sedangkan cerita orang buta yang minta didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits shahih.
[3] Yaitu Syabib bin Sa’id Al Makky.
[4] Artinya, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits si orang buta tersebut dari jalur perawi ini, akan tetapi sebagiannya tidak menyebutkan kisah yang disebutkan oleh Ath Thabrani di atas.
[5] Lihat: At Tawassul hal 88, tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
[6] Silakan saudara baca sendiri dalil yang menggelikan ini dalam Mana Dalilnya 1, hal 88-89.
[7] Lihat redaksi hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.
[8] HR. Tirmidzi no 3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.
[9] HR. Bukhari no 967 & 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu.
[10] Sekali lagi, yang dimaksud dalil di sini adalah dalil yang shahih dan sharih, alias sah dan jelas. Bukan hadits palsu, kisah-kisah, mimpi, dan qiyas yang kacau. Bukan pula hadits shahih yang dipelintar pelintir maknanya kesana kemari, atau diambil sepotong-sepotong.
[11] Lihat: lisaanul ‘Arab, pada kata: wa-sa-la (وسل).
Sumber Artikel: Muslim.or.id, Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Kategori; Aqidah, Aqidah,mana dalilnya 1?,Syirik,tawassul,ustadz