10 Kiat Istiqomah (7)
Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Oktober 2017 | 10/30/2017 04:32:00 PM
Kiat Keempat "Istiqomah yang tertuntut itu beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, tidak ada yang mampunya mendekatinya" Agar seseorang bisa istiqomah, maka perlu memperhatikan dua perkara: Pertama: Beribadah dan taat kepada Allah Ta'ala, dan beramal shaleh sesuai dengan sunah (syariat Islam). Kedua: Bila tidak mampu, maka mendekat sunah (syariat Islam). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: إن الدين يسر, ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه, فسددوا وقاربوا, وأبشروا "Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah, dan justru seseorang memperberat diri dalam beragama Islam itu akan terkalahkan sendiri, maka bersikaplahlah sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, juga bergisik!" (HR Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ). Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah menjelaskan makna إن الدين يسر "Sesungguhnya agama ini mudah" dengan mengatakan: ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله, وفي أفعاله وتروكه "(Agama Islam) ini mudah, lagi gampang, baik dalam akidah, akhlak, amal, dalam melakukan (perintah) maupun dalam sikap kiri (larangan)". Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari , beliau menyatakan: والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب "Maksudnya itu adalah tindakan seseorang dalam mengamalkan agama (Islam) dan selamat jalan tengah nanti akan ada mampu dan terputus (amalannya), lalu kalah!" Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : فسددوا "Maka bersikaplah kamu sesuai dengan (sunah)" Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan: أي : الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط, قال أهل اللغة : السداد التوسط في العمل "Maksudnya: tetaplah lurus ( as-sadad ), itu benar tanpa melampui batasan (syariat) dan tanpa menguranginya. Ahli bahasa Arab mengatakan: As-Sadad adalah tengah-tengah dalam beramal ". Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan makna As-Sadad dengan mengatakan: والسداد : أن تصيب السنة " As-Sadad adalah anda (beramal) sesuai dengan sunah (syariat Islam)." Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam juga menjelaskan makna As-Sadad : فالسداد هو حقيقة الاستقامة, وهو الإصابة في جميع الأقوال والأعمال والمقاصد كالذي يرمي إلى غرض فيصيبه " As-Sadad adalah hakekat dari istiqomah, yaitu: benar dalam semua ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat (bidikannya) mengenai sasaran tersebut ". Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : وقاربوا " Dan mendekatilah " dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah : أي : إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه "Maksudnya: jangan kalian lakukan amalan yang paling sempurna, maka lakukan amalan yang mendekatinya". Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam menjelaskan makna "mendekat (muqarabah)" : والمقاربة أن يصيب ما يقرب من الغرض إن لم يصب الغرض نفسه "Mendekati adalah kamu melakukan (amalan) mendekat tujuan (sunah), meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah)". Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : وأبشروا "Serta bergisik!", أي : بالثواب على العمل الدائم وإن قل, والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره "Maksudnya: bergjamin dengan pahala atas amalan yang senantiasa terjaga sedikit amalan itu sedikit. Maksud perintah bergembira di sini adalah bergembira saat tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, karena ketidakmampuan itu kalau bukan karena kesengajaan untuk tertinggal (amalan paling sempurna), maka tidak berkonsekuensi berkurangnya pahalanya. " Catatan Kaki;, Dari Narasumber; Muslim.or.id, Penulis: Sa'id Abu Ukkasyah" |
10 Kiat Istiqomah (6)
Narasumber : Muslim.or.id Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (5) (Lanjutan kaedah ketiga) Di dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ “Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam mukadimah kitabnya Ighatsatul Lahfan: ولما كان القلبُ لهذه الأعضاء كالملِكِ المتصرِّف في الجنُود الَّذي تصدُرُ كلُّها عن أمرِه، ويستعمِلُها فيما شاءَ، فكلُّها تحتَ عبوديتِه وقهرِه وتكتسِبُ منه الاستقامَةَ والزَّيغ، وتَتْبَعه فيما يعقِدُه من العَزم أو يحلُّه، قال النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم : «أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ»،هو مَلِكُها وهيَ المنفِّذَة لمَا يأمرُها به، القابلةُ لِمَا يأتِيها منْ هَديَّتِه، ولا يستقيمُ لها شيءٌ مِنْ أعمالها حتَّى تَصدُرَ عن قَصدِه ونيتِه، وهو المسئُول عنها كلِّها “Tatkala hati kedudukannya bagi badan seperti raja yang berkuasa mengatur pasukannya, semua (pergerakkan)nya berasal dari perintahnya dan sang raja menggerakkannya sesuai dengan kehendaknya maka semua (anggota badan) di bawah pengaturan (hati) dan kekuasaannya. Dari (hati) inilah dihasilkan kelurusan dan penyimpangan. Badan mengikuti tekad kuat hati atau mengikuti sesuatu yang tidak dikehendaki oleh hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ “Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati.Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggungjawab atas seluruh (amalan badan)”. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: {يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ} “Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”, {إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ} “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat” (QS. Asy-Syu’araa`:88-89). Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan dua ayat di atas di dalam kitab tafsir beliau, “Firman Allah: {يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ} “Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”, maksudnya adalah harta seseorang tidaklah bisa melindunginya dari azab Allah walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi. {وَلَا بَنُونَ} “dan anak-anak laki-laki”, maksudnya adalah meskipun ditebus dengan semua anak-anak laki-laki yang ada di muka bumi. Pada hari itu, tidaklah bermanfaat kecuali keimanan kepada Allah, memurnikan ketaatan untuk-Nya semata (ikhlas) dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Oleh karena itu, Allah berfirman: {إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ} “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat”, maksudnya: selamat dari kotoran (dosa) dan kesyirikan.” Diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ قَلْباً سَلِيمًا “Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu hati yang selamat” (H.R. Ahmad dan An-Nasa`i, Lihat: Ash-Shahihah: 2328). [bersambung] Catatan Kaki, Dinukil dari Narasumber; Muslim.or.id |
Kaidah Fiqh,SEMUA KERABAT HARAM DINIKAHI KECUALI EMPAT
Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Maret 2017 | 3/14/2017 04:06:00 PM
DINIKAHI KECUALI EMPAT
- Haram dinikahi karena hubungan nasab (kekerabatan)
- Haram dinikahi karena hubungan persusuan
- Haram dinikahi karena hubungan pernikahan (ipar)
- Putri saudara laki-laki bapak atau kakek
- Putri saudara wanita bapak atau kakek
- Putri saudara laki-laki ibu atau nenek
- Putri saudara wanita ibu atau nenek
- Istrinya bapak atau kakek (ibu atau nenek tiri)
- Istri anak kandung atau cucu (menantu)
- Ibu atau nenek istri (mertua)
- Putri atau cucu istri (anak atau cucu tiri)
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam emeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
kekerabatan/nasab ada tujuh orang:
kelahirannya, maka termasuk kategori ibu adalah ibu yang langsung
melahirkannya juga nenek baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak, begitu pula ibu-ibu mereka ke atas.
baik dekat maupun jauh. Atau dengan bahasa lain setiap wanita yang Anda
adalah sebab dia terlahir ke dunia baik secara langsung ataupun tidak. Maka
yang termasuk anak perempuan adalah putri kandungnya juga cucu perempuan
baik dari anak perempuan maupun anak laki-laki serta keturunan mereka ke
bawah.
setiap saudara perempuan ibu juga ibunya (nenek) baik nenek dekat maupun
jauh, baik saudara perempuan ibu sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70,
al-Umm oleh Imam Syafi'i 5/32, al-Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm 9/520.)
kekeluargaan karena sebab persusuan. Karena, kaidah yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما, "Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan).'" (HR Bukhari: 2645, Muslim: 1447)
- Anak persusuan
Yaitu anak yang disusui oleh istrinya dan anak keturunannya kebawah - Ibu yang menyusuinya
- Nenek persusuan
Yaitu ibunya ibu yang menyusuinya dan ibu-nya suami ibu susu
serta ibu-ibu mereka ke atas. - Saudara perempuan sepersusuan baik dia saudara sekandung, seibu, ataupun sebapak saja
- Anak perempuannya saudara sepersusuan baik saudara
laki-laki maupun wanita serta anak keturunan mereka ke bawah - Saudara perempuan ibu susu (bibi), baik bibi sekandung, sebapak saja, ataupun seibu saja
- Saudara perempuan suami ibu susu (bibi), baik bibi
kandung, sebapak saja, ataupun seibu saja.
(Lihat al-Mughni 9/519, Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq 2/157)
perinciannya:
- Ibu istri (mertua)
perempuan istri serta anak-anaknya dan seterusnya ke bawah, baik
dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Dan
diharamkannya menikah dengan anak tiri apabila memenuhi dua
syarat menurut pendapat Zhahiriyah dan sebuah riwayat dari Imam
Malik, yaitu: (1) sudah bercampur dengan istrinya, dan (2) anak
tiri tersebut dalam pemeliharaannya , karena Allah mensyaratkan
dua hal tersebut dalam pengharaman anak tiri (lihat al-Muhalla
9/527, Jami' Ahkamin Nisa' 3/93).
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,'
jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله
عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي
الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya,'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam pemeliharaanmu."'
الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,' jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya, 'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak
perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam Namun, jumhur para ulama mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dengan anak tirinya kalau sudah bercampur dengan istrinya baik anak tiri tersebut dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" yang terdapat dalam ayat tersebut bukan sebagai pengkhususan hukum karena beberapa sebab: pemeliharaanmu."'
- Imam Bukhari (7/6) dan Abu Dawud (1/474) meriwayatkan
dari Ummu Habibah bahwasannya beliau berkata, "Ya Rasulullah, menikahlah dengan saudariku Azzah binti Abi Sufyan." Beliau menjawab, "Apakah engkau menginginkannya?"
"Ya, karena tidak mungkin istrimu cuma saya sendiri, dan
saya menginginkan bahwa orang yang menyertaiku dalam
kebaikan (menjadi istrimu) adalah saudariku," tandasnya,
Maka beliau bersabda, "Dia tidak halal bagiku." Berkata Ummu
Habibah, "Kami mendengar kabar bahwa engkau akan menikah
dengan putrinya Abu Salamah." Beliau balik bertanya,
"Maksudmu putrinya Ummu Salamah?" "Ya," jawabnya. Maka
beliau bersabda, "Seandainya dia itu bukan anak tiriku yang
dalam pemeliharaanku, dia tetap tidak halal bagiku, karena
dia adalah putri saudara sepersusuanku. Saya dan Abu Salamah
sama-sama disusukan oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian
menawarkan putri-putri serta saudari-saudari kalian
kepadaku." Dalam riwayat Bukhari, "Seandainya saya tidak
menikah dengan Ummu Salamah, dia tetap tidak halal bagiku."
Berkata Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (1/582),
"Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikan sebab pengharaman
tersebut sekadar menikahnya dengan Ummu Salamah رضي الله
عنها." (Lihat juga al-Mughni 9/516.) - Bahwasanya pemeliharaan terhadap seseorang tidak
mempunyai pengaruh atas halal dan haramnya menikah dengan
semua wanita yang diharamkan menikah dengannya. (Lihat
al-Mughni 9/516.) - Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" dalam ayat
di atas hanya berarti bahwasanya biasanya anak tiri dalam
pemeliharaan ayah tirinya, bukan sebagai pengkhususan hukum.
Karena Allah Ta'ala tidak menyebutkan kebalikan dari lafal
tersebut, berbeda dengan lafal "dari istri-istri yang telah
kalian campuri" Allah telah menyebutkan kebalikan hukumnya
dalam firman-Nya: "tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa
kamu mengawininya." Yang mana hal ini menunjukkan bahwa
lafal "yang dalam pemeliharaanmu" bukan dimaksudkan sebagai
pengkhususan hukum. (Lihat al-Mughni 9/517, Tafsir
al-Qurthubi 5/74, Fatwa Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa
Islamiyyah kumpulan Muhammad al-Musnid 3/132.) Wallahu
A'lam.
cucu baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan juga
istri-istri keturunan mereka ke bawah. Menantu ini haram
dinikahi dengan sekadar adanya akad pernikahan antara anaknya
dengannya meskipun belum bercampur. Jadi, seandainya si anak
menceraikan istrinya atau mati sebelum sempat bercampur dengan
istrinya maka haram bagi ayahnya untuk menikah dengannya dengan
kesepakatan seluruh para ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/583,
Bidayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd 2/40.)
kakek dari jalur ayah ataupun dari jalur ibu juga ayah mereka ke
atas. Ibu tiri ini haram dinikahi dengan sekadar adanya akad
nikah antara ayahnya dengannya dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Adhwa'ul Bayan oleh Imam Syinqithi 1/468,
Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
Faedah:
haram maka pendapat ini yang lebih kuat." Bahkan Imam Ibnul
Qayyim menegaskan bahwa ini bukan ijma' (lihat Zadul Ma'ad
5/557-564).
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan)." Karena itu, kalau menikah dengan ibu tiri, anak
tiri, menantu, dan mertua dari nasab haram maka begitu pulalah
diharamkan menikah dengan mereka karena sebab persusuan.
Wallahu A'lam.[]
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/582.)
YANG HARAM DINIKAHI
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf حفظه الله
Disalin dari Majalah al-Furqon No. 135 Ed.10 Th.ke-12_1434/2013
Disalin Dari eBook Ibnumajjah.com
Qawaid Fiqhiyyah,Hukuman dan Peradilan
Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Februari 2017 | 2/27/2017 02:53:00 AM
Hukuman dan Peradilan
Qawaid Fiqhiyyah
Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui
bukan dengan sebab yang masih diperkirakan
KAIDAH FIKIH
الْـحُكْمُ الْـحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْـمَعْلُوْمِ لَا إِلَى الْـمُقَدَّرِ الْـمَظْنُوْنِ
MAKNA KAIDAH
DALIL KAIDAH INI
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut beberapa di antaranya :
- Apabila dalam suatu pernikanan disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat at-Baqarah dari si suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu si isteri menuduh suaminya belum menunaikannya hanya saja, faktanya si isteri tehah hafal surat al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan. Mungkin karena diajari suami mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah ini penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal serumah dan diajari suami, sementara penyebab yang lainnya adalah sebab yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum menunaikan mahar tersebut.
- Apabila ada
seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun
tidak mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan dalam
keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama. Dalam hal
ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama, sebab yang maklum
(nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih diperkirakan, yaitu sebab-sebab
lainnya, seperti jatuh, kelaparan dan semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas
bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka
berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang
sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan
binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.5
- Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian temyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut dan ini adalah sebab yang maklum (nampak); Dan mungkin juga disebabkan perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkan hukum qishosh jika hal itu terjadi karena 'amdun 'udwan (sengaja dan terencana) atau wajib diyat jika hal itu terjadi karena khatha' (tersalah), atau syibhu 'amdin (menyerupai sengaja).6 Namun, dalam kasus seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin parah.
Publication : 1436 H_2015 M
Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas
Hukuman dan Peradilan KAIDAH FIQH اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله |
CONTOH PENERAPAN KAEDAH
- Kalau si A mengatakan: Saya telah berzina, maka pengakuannya ini diterima dan bisa ditegakan hujjah atas penegakan hukum rajam atau cambuk oleh sang hakim, namun kalau dia mengatakan si C telah berzina, maka dia butuh mendatangkan empat saksi, karena sekarang ucapannya itu menjadi sebuah tuduhan.
- Kalau si A berkata: "si B pernah menghutangi saya juga pernah menghutangi si C, masing-masing satu juta rupiah", maka ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan bukan pada si C kecuali kalau bisa mendatangkan saksi.
HUKUM MENCABUT PENGAKUAN
Pertama:
Diterima, kalau berhubungan dengan hak Allloh Ta'ala atau pengakuannya tersebut
bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Kedua:
Tidak dapat diterima, hal ini kalau berhubungan dengan hak sesama manusia
KAPAN PENGAKUAN SESEORANG DITERIMA?
Publication 1437 H_2016 M Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal. 201-206 Disalin dari» eBook Ibnumajjah.com |
Kaidah Fiqih, Pengertian Kaedah
Written By Rachmat.M.Flimban on 26 Februari 2017 | 2/26/2017 10:36:00 PM
Hukuman dan Peradilan Kaidah Fiqih اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله |
Publication 1437 H_2016 M Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal. 201-206 Disalin dari» eBook Ibnumajjah.com |
Translate To your langgued
Recent Post
-
Do'a yang diajarkan Jibril kepada Nabi Muhammad untuk membakar jin jahil Katakanlah Muhammad, Bagi segenap orang-orang yang beriman A...
-
Perlu diketahui bahwa jin -termasuk pula setan- melakukan aktivitas makan dan minum. Beberapa dalil membuktikan hal ini. Dalam Sh...
-
Serial 9 Alam Jin: Hewan Tunggangan Jin Jin juga ternyata memiliki kendaraan atau tunggangan sebagaimana manusia pun demikian. Dalam riwayat...
-
Hukuman dan Peradilan KAIDAH FIQH البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ B...
-
Dengan Ayat Kursi dan Do'a dari Jibril ini, Jin Ifrit pun Terbakar Ifrit, nama itu terkadang kita dengan sewaktu seseorang mengumpat at...
-
Ada lagi di antara kemampuan yang Allah berikan pada jin yaitu kemampuan mereka mendirikan gedung atau bangunan yang tinggi bahkan dibuat de...
-
Serial 6 Alam Jin: Perkawinan Jin By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Yang Nampak Memang jin Perkawinan also melakukan. Sebagian ulama berdali...
-
Serial 7 Alam Jin: Umur Jin By Muhammad Abduh Tuasikal Sebagian orang mungkin mengira bahwa jin TIDAK Bisa Mati, Begitu pula setan. Padahal ...
-
Serial 12 Alam Jin: Kemampuan Mencuri Berita Langit Di antara kemampuan yang Allah berikan pada jin atau setan adalah kemampuan mencuri...
-
Manusia Lebih, Mulia Daripada Jin, Jadi Mengapa Takut? Allah has menjelaskan bahwa Manusia Adalah Makhluk pagar mulia di Muka bumi DENGAN ke...