Latest Post
Tampilkan postingan dengan label kaidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kaidah. Tampilkan semua postingan

10 Kiat Istiqomah (7)

Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Oktober 2017 | 10/30/2017 04:32:00 PM


10 Kiat Istiqomah (7)

Nasehat Ulama

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah


Kiat Keempat

"Istiqomah yang tertuntut itu beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, tidak ada yang mampunya mendekatinya"

Agar seseorang bisa istiqomah, maka perlu memperhatikan dua perkara:

Pertama: Beribadah dan taat kepada Allah Ta'ala, dan beramal shaleh sesuai dengan sunah (syariat Islam).

Kedua: Bila tidak mampu, maka mendekat sunah (syariat Islam).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إن الدين يسر, ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه, فسددوا وقاربوا, وأبشروا

"Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah, dan justru seseorang memperberat diri dalam beragama Islam itu akan terkalahkan sendiri, maka bersikaplahlah sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, juga bergisik!" (HR Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ).

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah menjelaskan makna

إن الدين يسر

"Sesungguhnya agama ini mudah" dengan mengatakan:

ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله, وفي أفعاله وتروكه

"(Agama Islam) ini mudah, lagi gampang, baik dalam akidah, akhlak, amal, dalam melakukan (perintah) maupun dalam sikap kiri (larangan)".

Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari , beliau menyatakan:

والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب

"Maksudnya itu adalah tindakan seseorang dalam mengamalkan agama (Islam) dan selamat jalan tengah nanti akan ada mampu dan terputus (amalannya), lalu kalah!"

Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

فسددوا

"Maka bersikaplah kamu sesuai dengan (sunah)"

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan:

أي : الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط, قال أهل اللغة : السداد التوسط في العمل

"Maksudnya: tetaplah lurus ( as-sadad ), itu benar tanpa melampui batasan (syariat) dan tanpa menguranginya. Ahli bahasa Arab mengatakan: As-Sadad adalah tengah-tengah dalam beramal ".

Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan makna As-Sadad dengan mengatakan:

والسداد : أن تصيب السنة

" As-Sadad adalah anda (beramal) sesuai dengan sunah (syariat Islam)."

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam juga menjelaskan makna As-Sadad :

فالسداد هو حقيقة الاستقامة, وهو الإصابة في جميع الأقوال والأعمال والمقاصد كالذي يرمي إلى غرض فيصيبه

" As-Sadad adalah hakekat dari istiqomah, yaitu: benar dalam semua ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat (bidikannya) mengenai sasaran tersebut ".

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

وقاربوا

" Dan mendekatilah "

dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah :

أي : إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه

"Maksudnya: jangan kalian lakukan amalan yang paling sempurna, maka lakukan amalan yang mendekatinya".

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam menjelaskan makna "mendekat (muqarabah)" :

والمقاربة أن يصيب ما يقرب من الغرض إن لم يصب الغرض نفسه

"Mendekati adalah kamu melakukan (amalan) mendekat tujuan (sunah), meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah)".

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

وأبشروا

"Serta bergisik!",

أي : بالثواب على العمل الدائم وإن قل, والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره

"Maksudnya: bergjamin dengan pahala atas amalan yang senantiasa terjaga sedikit amalan itu sedikit. Maksud perintah bergembira di sini adalah bergembira saat tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, karena ketidakmampuan itu kalau bukan karena kesengajaan untuk tertinggal (amalan paling sempurna), maka tidak berkonsekuensi berkurangnya pahalanya. "


Catatan Kaki;,

Dari Narasumber; Muslim.or.id, Penulis: Sa'id Abu Ukkasyah"

Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqomah (8) "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

10 Kiat Istiqomah (6)


10 Kiat Istiqomah (6)

Nasehat Ulama

Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah

Narasumber : Muslim.or.id

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (5)


(Lanjutan kaedah ketiga)

Di dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam mukadimah kitabnya Ighatsatul Lahfan:

ولما كان القلبُ لهذه الأعضاء كالملِكِ المتصرِّف في الجنُود الَّذي تصدُرُ كلُّها عن أمرِه، ويستعمِلُها فيما شاءَ، فكلُّها تحتَ عبوديتِه وقهرِه وتكتسِبُ منه الاستقامَةَ والزَّيغ، وتَتْبَعه فيما يعقِدُه من العَزم أو يحلُّه، قال النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم : «أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ»،هو مَلِكُها وهيَ المنفِّذَة لمَا يأمرُها به، القابلةُ لِمَا يأتِيها منْ هَديَّتِه، ولا يستقيمُ لها شيءٌ مِنْ أعمالها حتَّى تَصدُرَ عن قَصدِه ونيتِه، وهو المسئُول عنها كلِّها

“Tatkala hati kedudukannya bagi badan seperti raja yang berkuasa mengatur pasukannya, semua (pergerakkan)nya berasal dari perintahnya dan sang raja menggerakkannya sesuai dengan kehendaknya maka semua (anggota badan) di bawah pengaturan (hati) dan kekuasaannya. Dari (hati) inilah dihasilkan kelurusan dan penyimpangan. Badan mengikuti tekad kuat hati atau mengikuti sesuatu yang tidak dikehendaki oleh hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati.Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggungjawab atas seluruh (amalan badan)”.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}

“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”,

{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat” (QS. Asy-Syu’araa`:88-89).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan dua ayat di atas di dalam kitab tafsir beliau,

“Firman Allah:

{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}

“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”,

maksudnya adalah harta seseorang tidaklah bisa melindunginya dari azab Allah walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi.

{وَلَا بَنُونَ}

“dan anak-anak laki-laki”,

maksudnya adalah meskipun ditebus dengan semua anak-anak laki-laki yang ada di muka bumi.

Pada hari itu, tidaklah bermanfaat kecuali keimanan kepada Allah, memurnikan ketaatan untuk-Nya semata (ikhlas) dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Oleh karena itu, Allah berfirman:

{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat”, maksudnya: selamat dari kotoran (dosa) dan kesyirikan.”

Diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ قَلْباً سَلِيمًا

“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu hati yang selamat” (H.R. Ahmad dan An-Nasa`i, Lihat: Ash-Shahihah: 2328).

[bersambung]


Catatan Kaki,

Dinukil dari Narasumber; Muslim.or.id

Artikel Terkait; "10 Kiat Istiqomah (7) "


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kaidah Fiqh,SEMUA KERABAT HARAM DINIKAHI KECUALI EMPAT

Written By Rachmat.M.Flimban on 14 Maret 2017 | 3/14/2017 04:06:00 PM

Kaidah Fiqh
كُلُّ أَقَارِبِ الرَّجُلِ حَرَامٌ عَلَيْهِ إِلاَّ أَربَعَةً
وَكُلُّ الأَصْهَارِ حَلاَلٌ إِلاَّ أَرْبَعَةً
SEMUA KERABAT  HARAM DINIKAHI KECUALI  EMPAT,
SEDANGKAN SEMUA IPAR HALAL
DINIKAHI KECUALI EMPAT

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini berkaitan dengan salah satu hukum pernikahan, yaitu tentang wanita-wanita yang haram dinikahi.
Ketahuilah bahwa wanita yang haram dinikahi selamanya itu ada tiga macam:
  1. Haram dinikahi karena hubungan nasab (kekerabatan)
  2. Haram dinikahi karena hubungan persusuan
  3. Haram dinikahi karena hubungan pernikahan (ipar)
Adapun tentang wanita yang haram dinikahi karena sebab nasab (kekerabatan) maka kaidahnya adalah semua wanita yang masih kerabat; baik kerabat jalur ke atas dalam artian semua wanita yang menjadi sebab Anda terlahir ke dunia ini, baik dia itu adalah ibu kandung, ataupun ibunya ibu atau ibunya bapak (nenek), atau ibu-ibunya mereka terus jalur ke atas; ataupun kerabat jalur ke bawah (keturunan), yaitu semua wanita yang mana Anda adalah sebab mereka terlahir ke dunia, baik anak perempuan, atau anak perempuannya anak perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan) dan seluruh anak keturunan mereka; ataupun kerabat jalur menyamping, yaitu anak-anak keturunan kerabat jalur atas, dalam artian anaknya bapak atau ibu, atau anaknya kakek atau nenek. Mereka adalah saudara atau paman dan bibi dan seluruh keturunan mereka.
Semua kerabat tersebut adalah haram dinikahi selamanya, kecuali empat, yaitu:
  1. Putri saudara laki-laki bapak atau kakek
  2. Putri saudara wanita bapak atau kakek
  3. Putri saudara laki-laki ibu atau nenek
  4. Putri saudara wanita ibu atau nenek
Kebalikan dari hal ini adalah wanita yang mempunyai hubungan dengan Anda karena sebab pernikahan (ipar/kerabat istri atau suami) maka semuanya halal untuk dinikahi, kecuali empat, yaitu:
  1. Istrinya bapak atau kakek (ibu atau nenek tiri)
  2. Istri anak kandung atau cucu (menantu)
  3. Ibu atau nenek istri (mertua)
  4. Putri atau cucu istri (anak atau cucu tiri)
Kaidah ini sangat jelas didasari oleh firman Allah Ta'ala:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا . حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam emeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
(QS an-Nisa' [4]: 22-24)
DALIL KAIDAH
Kaidah ini sangat jelas didasari oleh firman Allah Ta'ala:


وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا .
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي
 حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا . وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ 
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalal-kan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS an-Nisa' [4]: 22-24)
PENJABARAN MAKNA KAIDAH
Dengan demikian maka perincian wanita yang haram dinikahi karena sebab
kekerabatan/nasab ada tujuh orang:
1. Ibu
Ibu seseorang adalah setiap wanita yang mempunyai andil dalam
kelahirannya, maka termasuk kategori ibu adalah ibu yang langsung
melahirkannya juga nenek baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak, begitu pula ibu-ibu mereka ke atas.
2. Anak perempuan
Anak perempuan seseorang adalah setiap wanita yang bernasab kepadanya
baik dekat maupun jauh. Atau dengan bahasa lain setiap wanita yang Anda
adalah sebab dia terlahir ke dunia baik secara langsung ataupun tidak. Maka
yang termasuk anak perempuan adalah putri kandungnya juga cucu perempuan
baik dari anak perempuan maupun anak laki-laki serta keturunan mereka ke
bawah.
4. Saudara perempuan bapak (bibi)
Bibi yang dimaksud di sini adalah setiap saudara perempuan bapak juga kakek baik ka-kek dekat maupun jauh, baik saudara perempuan bapak sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
5. Saudara perempuan ibu (bibi)
Sebagaimana bibi dari jalur bapak, begitu pula bibi dari jalur ibu, yaitu
setiap saudara perempuan ibu juga ibunya (nenek) baik nenek dekat maupun
jauh, baik saudara perempuan ibu sekandung atau sebapak saja maupun seibu saja.
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan (keponakan)
Yang dimaksud keponakan di sini adalah semua anak perempuan saudara baik anak mereka langsung maupun anak keturunan mereka, juga baik saudara tersebut sekandung atau seibu saja maupun sebapak saja.
Ketujuh wanita tersebut haram dinikahi dengan kesepakatan seluruh para
ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70,
al-Umm oleh Imam Syafi'i 5/32, al-Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm 9/520.)
Faedah:
Hukum ini pun berlaku bagi wanita yang mempunyai hubungan
kekeluargaan karena sebab persusuan. Karena, kaidah yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما, "Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda:


يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
'Diharamkan (untuk dinikahi) karena sebab sepersusuan
sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
kekeluargaan).'" (HR Bukhari: 2645, Muslim: 1447)
Jika demikian maka mereka adalah:
  1. Anak persusuan
    Yaitu anak yang disusui oleh istrinya dan anak keturunannya kebawah
  2. Ibu yang menyusuinya
  3. Nenek persusuan
    Yaitu ibunya ibu yang menyusuinya dan ibu-nya suami ibu susu
    serta ibu-ibu mereka ke atas.
  4. Saudara perempuan sepersusuan baik dia saudara sekandung, seibu, ataupun sebapak saja
  5. Anak perempuannya saudara sepersusuan baik saudara
    laki-laki maupun wanita serta anak keturunan mereka ke bawah
  6. Saudara perempuan ibu susu (bibi), baik bibi sekandung, sebapak saja, ataupun seibu saja
  7. Saudara perempuan suami ibu susu (bibi), baik bibi
    kandung, sebapak saja, ataupun seibu saja.
    (Lihat al-Mughni 9/519, Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq 2/157)
Corsiva" size="4" color="#000080">Adapun keluarga yang hubungan karena pernikahan, maka sebagaimana keterangan di atas, yang haram dinikahi hanya empat; 
perinciannya:
  1. Ibu istri (mertua)
Termasuk dalam kategori ibu istri adalah ibunya ibu istri maupun ibunya bapak istri dan ibu-ibu mereka seterusnya ke atas. Kalau seorang laki-laki sudah bercampur dengan istrinya maka diharamkan menikah dengan ibunya dengan kesepakatan para ulama. Adapun kalau belum bercampur dengan istrinya maka juga haram menikah dengan ibu istrinya menurut pendapat sebagian besar para ulama. Dan ini adalah pendapat yang benar karena larangan Allah untuk menikah dengan ibu istri bersifat mutlak (umum), sedangkan lafal yang mutlak harus dibawa pada kemutlakannya, kecuali kalau ada dalil yang mengkhususkan. (Lihat al-Muhalla 9/529, al-Mughni 6/569, Tafsir Ibnu Jarir 8/143, Tafsir Qurthubi 5/70, Tafsir Ibnu Katsir 1/470-)
Oleh karena itu, seandainya seseorang melakukan akad nikah dengan seorang wanita lalu dia meninggal atau diceraikan sebelum sempat bercampur dengan istrinya maka haram baginya menikah dengan ibu istrinya (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/581). Hanya, dinukil dari Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما, dan Mujahid رحمه الله bahwa beliau membolehkan menikah dengan ibu istri jika belum bercampur dengan istrinya (lihat Mushannaf Abdurrazzaq 108180, Jami' Ahkamin Nisa' oleh Syaikh Mushthafa al-Adawi 3/89). Namun, yang rajih adalah pendapat jumhur ulama.



  • Anak perempuan istri (anak tiri)

  • Termasuk dalam kategori anak perempuan istri adalah anak
    perempuan istri serta anak-anaknya dan seterusnya ke bawah, baik
    dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Dan
    diharamkannya menikah dengan anak tiri apabila memenuhi dua
    syarat menurut pendapat Zhahiriyah dan sebuah riwayat dari Imam
    Malik, yaitu: (1) sudah bercampur dengan istrinya, dan (2) anak
    tiri tersebut dalam pemeliharaannya , karena Allah mensyaratkan
    dua hal tersebut dalam pengharaman anak tiri (lihat al-Muhalla
    9/527, Jami' Ahkamin Nisa' 3/93).
    Madzhab ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab رضي
    الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
    Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
    Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
    yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
    sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
    الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,'
    jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله
    عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي
    الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya,'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam pemeliharaanmu."'
    Madzhab ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab رضي
    الله عنه dan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sebagaimana riwayat
    Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (10834) dengan sanad shahih dari
    Malik bin Aus an Nashri berkata, "Saya mempunyai seorang istri
    yang sudah melahirkan anak dariku, lalu dia meninggal maka saya
    sangat sedih atasnya. Maka saya bertemu Ali bin Abi Thalib رضي
    الله عنه dan beliau berkata, Apa yang terjadi padamu?' Saya jawab, Tstriku meninggal dunia.' Ali رضي الله عنه berkata selanjutnya, Apakah dia mempunyai anak perempuan?' 'Ya,' jawabku. Apakah dia dalam pemeliharaanmu?' tanya Ali رضي الله عنه selanjutnya. Saya jawab, 'Tidak, dia di Thaif.' Maka Ali رضي الله عنه berkata, 'Menikahlah dengannya.' Saya balik bertanya, 'Lalu bagaimana dengan firman Allah Ta'ala: Dan istri anak-anakmu yang dalam pemeliharaanmu Beliau menjawab, 'Anak
    perempuan istrimu itu bukan dalam pemeliharaanmu, yang diharamkan untuk dinikahi itu hanyalah yang dalam 
    Namun, jumhur para ulama mengatakan bahwa seseorang dilarang menikah dengan anak tirinya kalau sudah bercampur dengan istrinya baik anak tiri tersebut dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" yang terdapat dalam ayat tersebut bukan sebagai pengkhususan hukum karena beberapa sebab: pemeliharaanmu."'
    1. Imam Bukhari (7/6) dan Abu Dawud (1/474) meriwayatkan
      dari Ummu Habibah bahwasannya beliau berkata, "Ya Rasulullah, menikahlah dengan saudariku Azzah binti Abi Sufyan." Beliau menjawab, "Apakah engkau menginginkannya?"
      "Ya, karena tidak mungkin istrimu cuma saya sendiri, dan
      saya menginginkan bahwa orang yang menyertaiku dalam
      kebaikan (menjadi istrimu) adalah saudariku," tandasnya,
      Maka beliau bersabda, "Dia tidak halal bagiku." Berkata Ummu
      Habibah, "Kami mendengar kabar bahwa engkau akan menikah
      dengan putrinya Abu Salamah." Beliau balik bertanya,
      "Maksudmu putrinya Ummu Salamah?" "Ya," jawabnya. Maka
      beliau bersabda, "Seandainya dia itu bukan anak tiriku yang
      dalam pemeliharaanku, dia tetap tidak halal bagiku, karena
      dia adalah putri saudara sepersusuanku. Saya dan Abu Salamah
      sama-sama disusukan oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian
      menawarkan putri-putri serta saudari-saudari kalian
      kepadaku." Dalam riwayat Bukhari, "Seandainya saya tidak
      menikah dengan Ummu Salamah, dia tetap tidak halal bagiku."
      Berkata Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (1/582),
      "Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikan sebab pengharaman
      tersebut sekadar menikahnya dengan Ummu Salamah رضي الله
      عنها." (Lihat juga al-Mughni 9/516.)
    2. Bahwasanya pemeliharaan terhadap seseorang tidak
      mempunyai pengaruh atas halal dan haramnya menikah dengan
      semua wanita yang diharamkan menikah dengannya. (Lihat
      al-Mughni 9/516.)
    3. Adapun lafal "yang dalam pemeliharaanmu" dalam ayat
      di atas hanya berarti bahwasanya biasanya anak tiri dalam
      pemeliharaan ayah tirinya, bukan sebagai pengkhususan hukum.
      Karena Allah Ta'ala tidak menyebutkan kebalikan dari lafal
      tersebut, berbeda dengan lafal "dari istri-istri yang telah
      kalian campuri" Allah telah menyebutkan kebalikan hukumnya
      dalam firman-Nya: "tetapi jika kamu belum campur dengan
      istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa
      kamu mengawininya." Yang mana hal ini menunjukkan bahwa
      lafal "yang dalam pemeliharaanmu" bukan dimaksudkan sebagai
      pengkhususan hukum. (Lihat al-Mughni 9/517, Tafsir
      al-Qurthubi 5/74, Fatwa Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa
      Islamiyyah kumpulan Muhammad al-Musnid 3/132.) Wallahu
      A'lam.
    3. Istri anak kandung (menantu)
    Yang termasuk dalam menantu adalah istri anak kandung, istri
    cucu baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan juga
    istri-istri keturunan mereka ke bawah. Menantu ini haram
    dinikahi dengan sekadar adanya akad pernikahan antara anaknya
    dengannya meskipun belum bercampur. Jadi, seandainya si anak
    menceraikan istrinya atau mati sebelum sempat bercampur dengan
    istrinya maka haram bagi ayahnya untuk menikah dengannya dengan
    kesepakatan seluruh para ulama. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/583,
    Bidayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd 2/40.)
    4. Istri ayah (ibu tiri)
    Yang termasuk ibu tiri adalah istri ayah atau kakek baik
    kakek dari jalur ayah ataupun dari jalur ibu juga ayah mereka ke
    atas. Ibu tiri ini haram dinikahi dengan sekadar adanya akad
    nikah antara ayahnya dengannya dengan kesepakatan seluruh para
    ulama. (Lihat Tafsir Adhwa'ul Bayan oleh Imam Syinqithi 1/468,
    Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
    Tafsir Qurthubi 5/67, Bidayatul Mujtahid 2/40.)
    Berkata Imam Ibnu Katsir رحمه الله, "Allah mengharamkan menikahi ibu tiri untuk menghormati dan menghargai sang ayah agar jangan sampai dia mencampuri wanita yang pernah dicampuri ayahnya, karena itu diharamkan menikah dengannya hanya dengan sekadar adanya akad nikah dengan kesepakatan seluruh para ulama." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/578.)

    Faedah:
    Apakah diharamkan juga menikahi ibu tiri, anak tiri, mertua dan menantu karena sebab persusuan? Jumhur ulama mengharamkannya, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa pengharaman ini adalah ijma' ulama (lihat al-Mughni 9/515-519, Tafsir Ibnu Katsir 1/583, Tafsir Ibnu Jarir 8/149). Namun, Imam Ibnu Taimiyyah meragukan ijma' tersebut, beliau berkata, "Kalau ada seseorang yang pernah mengatakan bahwa hal tersebut tidak
    haram maka pendapat ini yang lebih kuat." Bahkan Imam Ibnul
    Qayyim menegaskan bahwa ini bukan ijma' (lihat Zadul Ma'ad
    5/557-564).
    Dalil jumhur adalah keumuman sabda Rasulullah صلى الله عليه 
    وسلم, "Diharamkan (untuk dinikahi) karena sebab sepersusuan
    sebagaimana yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan
    kekeluargaan)." Karena itu, kalau menikah dengan ibu tiri, anak
    tiri, menantu, dan mertua dari nasab haram maka begitu pulalah
    diharamkan menikah dengan mereka karena sebab persusuan.

    Wallahu A'lam.[]

    1.Maksud Hijr adalah anak tersebut dipelihara dalam rumahnya.
    (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/582.)

    KAIDAH FIQH:
    YANG HARAM DINIKAHI
    Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf حفظه الله
    Disalin dari Majalah al-Furqon No. 135 Ed.10 Th.ke-12_1434/2013
    Disalin Dari eBook Ibnumajjah.com


    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Qawaid Fiqhiyyah,Hukuman dan Peradilan

    Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Februari 2017 | 2/27/2017 02:53:00 AM


    Hukuman dan Peradilan

    Qawaid Fiqhiyyah
    الْـحُكْمُ الْـحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْـمَعْلُوْمِ لَا إِلَى الْـمُقَدَّرِ الْـمَظْنُوْنِ

    Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui

    bukan dengan sebab yang masih diperkirakan


    KAIDAH FIKIH

    الْـحُكْمُ الْـحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْـمَعْلُوْمِ لَا إِلَى الْـمُقَدَّرِ الْـمَظْنُوْنِ

    Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui bukan dengan sebab yang masih diperkirakan
     

    MAKNA KAIDAH
    Dalam beberapa kondisi terkadang terjadi perbedaan hukum terhadap satu perkara. Perbedaan itu dipicu oleh perbedaan para Ulama dalam menetapkan sebab hukum itu sendiri. Karena setiap hukum itu pasti memiliki sebab, dan terkadang satu perkara atau kejadian memiliki sebab lebih dari satu, sehingga ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat saat menetapkan hukum kejadian tersebut.
    Kaidah di atas menjelaskan solusi apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan sebab dari suatu perkara, yang bisa dijadikan sandaran hukum. Faktor penyebab suatu kejadian bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diketahui umum. Kedua, sebab yang masih dalam bentuk dugaan atau perkiraan. Jika seperti ini keadaannya, maka hukum perkara itu, kita sandarkan kepada sebab yang zhahir, bukan kepada sebab yang masih dalam bentuk perkiraan. Karena, sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diketahui umum adalah sebab yang matayaqqan ats-tsubut (pasti keberadaannya), sedangkan sebab yang masih diperkirakan itu adalah masykukun fi tsubutihi (diragukan keberadaannya). Sedangkan kaidah umum mengatakan bahwa al-yaqin layazulu bi asy-syak (Sesuatu yang sudah diyakini tidak bisa hilang hanya karena sesuatu yang masih diragukan)
     

    DALIL KAIDAH INI
    Kaidah ini masuk dalam keumuman dalil-dalil yang menunjukkan bahwa al-yaqin layazulu biasy-syak. Diantaranya, firman Allah Azza wa Jalla:
    وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
    Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS Yunus/10:36)
    Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan berkata," Yang dimaksud kebenaran (al-haq) dalam ayat ini ialah suatu hakikat yang benar-benar terjadinya, seperti keyakinan."1
     
    Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullah:
    قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا ، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Jika salah seorong dari kalian merasakan sesuatu di perutnya, sehingga muncul keraguan apakah sudah keluar sesuatu darinya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium baunya."2
     
    Imam an-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Hadits ini adalah salah satu pokok agama Islam, dan (merupakan) salah satu kaidah penting dalam fiqih. Maksudnya, Yaitu, bahwasanya segala sesuatu itu tetap dihukumi sebagaimana asalnya sampai keberadaannya jelas menyelisihi keadaan awalnya. Dan keragu-raguan yang muncul tidak berpengaruh padanya".3
    Adapun dalil yang khusus berkaitan dengan kaidah ini di antaranya adalah hadits Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    وَإِنْ رَمَيْتَ الصَّيْدَ فَوَجَدْتَهُ بَعْدَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَيْسَ بِهِ إِلَّا أَثَرُ سَهْمِكَ فَكُلْ
     
    Dan apabila engkau memanah hewan buruan kemudian setelah sehari atau dua hari engkau temukan hewan itu mati sedangkan tidak ada pada hewan itu selain bekas luka panahmu maka engkau boleh memakannya.4
    Dalam hadits ini dijelaskan tentang hewan buruan yang dipanah kemudian lari, setelah itu ditemukan dalam keadaan mati dan tidak didapati kecuali luka bekas panah itu, maka itu boleh dimakan. Padahal ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan kematiannya. Kemungkinan pertama disebabkan luka panah. Ini adalah sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan jika ini benar, maka hewan tersebut halal dimakan; Kemungkinan yang lain, banyak sekali, misalnya karena haus, jatuh, lapar dan lain sebagainya, yang jika ini yang menyebab kematiannya. maka hewan itu haram dimakan. Meski demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ternyata memperbolehkan untuk memakan hewan tersebut. Ini menunjukkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengaitkan kematian hewan tersebut dengan sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diyakini keberadaannya. Adapun sebab-sebab yang wujud sekedar persangkaan atau perkiraan maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam abaikan.

    CONTOH PENERAPAN KAIDAH

    Berikut beberapa di antaranya :
    1. Apabila dalam suatu pernikanan disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat at-Baqarah dari si suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu si isteri menuduh suaminya belum menunaikannya hanya saja, faktanya si isteri tehah hafal surat al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan. Mungkin karena diajari suami mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah ini penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal serumah dan diajari suami, sementara penyebab yang lainnya adalah sebab yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum menunaikan mahar tersebut.
    1. Apabila ada
      seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun
      tidak mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan dalam
      keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama. Dalam hal
      ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama, sebab yang maklum
      (nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih diperkirakan, yaitu sebab-sebab
      lainnya, seperti jatuh, kelaparan dan semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas
      bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka
      berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang
      sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan
      binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.5
    1. Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian temyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut dan ini adalah sebab yang maklum (nampak); Dan mungkin juga disebabkan perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkan hukum qishosh jika hal itu terjadi karena 'amdun 'udwan (sengaja dan terencana) atau wajib diyat jika hal itu terjadi karena khatha' (tersalah), atau syibhu 'amdin (menyerupai sengaja).6 Namun, dalam kasus seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin parah.
    Wallahu a'lam.[]

    1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’anha, DR. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Cet. I. Tahun 1417 H, Dar al-Balansiyah Li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, hal. 102.
    2. HR. Muslim dalam Kitab al-Haid, Bab ad-Dalil ‘ala Anna Man Tayaqqana ath-Thaharah Tsumma Syakka fi al-Hadats Falahu an Yushalliya bi Thaharatihi Tilka, no. 803.
    3. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, al-Imam Muhyuddin an-Nawawiy, Cet. XV, Tahun 1429H/2008M, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 4/274.
    4. HR. ak-Bukhari dalam kitab adz-Dzhaba-ih wa ash-Shaid, Bab as-Shaid Idza Ghaba’anhu Yaumain aw Tsalatsah, no. 5484. Muslim dalam Kitab ash-Shaid wa adz-Dzhaba-ih wa Maa Yu’kalu min al-Hayawan, Bab as-Shaid bi al-Kilab al-Mu’ammalh, no.1929.
    5. Tentang larangan membunuh binatang buruan bagi seorang muhrim (orang yang sedang dalam keadaan berihram) dan denda yang berkaitan dengannya disebutkan dalam QS. al-Maidah/5 ayat ke-95.
    6. Tentang tiga macam pembunuhan tanpa haq dapat dilihat dalam Manhaj as-Salikin wa Taudhih al-Fiqh fi ad-Din, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1424H/2003M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, hal.263.
     

    Publication : 1436 H_2015 M
    Sumber: Majalah as-Sunnah, Ed. 3-4 Thn.XVII_1434H/2013M,
    Rubrik Qawaid Fiqhiyyah
    Disalin dari eBook Ibnumajjah.com




    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas


    Hukuman dan Peradilan
    KAIDAH FIQH
    اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ
    Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas
    Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله
     

    CONTOH PENERAPAN KAEDAH
     
    1. Kalau si A mengatakan: Saya telah berzina, maka pengakuannya ini diterima dan bisa ditegakan hujjah atas penegakan hukum rajam atau cambuk oleh sang hakim, namun kalau dia mengatakan si C telah berzina, maka dia butuh mendatangkan empat saksi, karena sekarang ucapannya itu menjadi sebuah tuduhan.
    Begitu pula kalau ada seorang laki-laki yang mengatakan: Saya telah berzina dengan si fulanah itu. Maka ucapannya ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri, adapun bagi si fulanah maka ini sifatnya tuduhan, dan harus mendatangkan empat saksi.

    Oleh karena itu Rosululloh صلى الله عليه وسلم tidak menanyakan kepada Ma'iz tatkala dia mengaku berzina: dengan siapa dia berzina.

    1. Kalau si A berkata: "si B pernah menghutangi saya juga pernah menghutangi si C, masing-masing satu juta rupiah", maka ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan bukan pada si C kecuali kalau bisa mendatangkan saksi.
     

    HUKUM MENCABUT PENGAKUAN
    Kalau seseorang mencabut kembali pengakuannya, apakah diterima?
    Pencabutan kembali sebuah pengakuan itu ada dua kemungkinan:
     

    Pertama:

    Diterima, kalau berhubungan dengan hak Allloh Ta'ala atau pengakuannya tersebut
    bertentangan dengan kenyataan yang ada.
    Seperti kalau seseorang mengaku berzina, lalu beberapa saat kemudian dia mengatakan: Saya tidak berzina, maka diterima ucapannya dan tidak dihukum zina, karena dia telah mencabut kembali pengakuanya, sedangkan hukuman zina adalah hak Alloh Ta'ala.
    Juga seperti kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa saya telah membunuh si A, temyata kemudian ditemukan bahwa si A masih hidup, maka pengakuannya bisa dicabut kembali.
     

    Kedua
    :
    Tidak dapat diterima, hal ini kalau berhubungan dengan hak sesama manusia
    Contohnya kalau ada yang berkata: Si A telah menghutangi saya sebesar satu juta rupiah dan belum saya bayar. Lalu beberapa saat kemudian dia mengatakan bahwa si A tidak menghutangi dia, maka ucapannya tidak bisa diterima, kecuali kalau si A mengakui bahwa dia memang tidak pernah menghutanginya.
     


    KAPAN PENGAKUAN SESEORANG DITERIMA?
     
    Pengakuan seseorang diterima apabila dia sudah baligh dan berakal sehat, adapun seseorang yang masih kecil atau tidak sehat akalnya maka tidak boleh untuk diterima pengakuannya.
    Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
    رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَـحْتَلِمَ، وَعَنِ الْـمَجْنُوْنِ حَتَّى يَقْقِلَ
    "Pena itu diangkat dari tiga orang, dan orang tidur sampai bangun, dari anak kecil sampai baligh, dan dari orang gila sampai sadar kembali."
    Juga disyaratkan pengakuan itu bukan karena keterpaksaan, kalau karena terpaksa maka pengakuan itu tidak bisa diterima berdasarkan pada keumuman sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
    عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي : الْـخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
    Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rosululloh bersabda: "Sesungguhnya Alloh mengampuni umatku terhadap apa yang mereka kerjakan karena salah, lupa dan terpaksa. "(HR Ibnu Majah 2043 dan Baihaqi dengan sanad shohih, lihat Misykah Mashobih: 6294)
     
    Wallohu a'lam.[]

    Publication 1437 H_2016 M



    Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah
    yang Terbatas

    Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه
    الله
    Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami
    Fiqih Islam
    Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal.
    201-206
    Disalin dari»
    eBook Ibnumajjah.com

    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    Kaidah Fiqih, Pengertian Kaedah

    Written By Rachmat.M.Flimban on 26 Februari 2017 | 2/26/2017 10:36:00 PM


    Hukuman dan Peradilan
    Kaidah Fiqih
    اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ
    قَاصِرَةٌ
    Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas

    Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf حفظه الله
     

    PENGERTIAN KAEDAH
     
    اَلْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ
    Pengakuan Adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas
    اَلْإِقْرَارُ adalah pengakuan atas dirinya sendiri bahwa dia punya tanggungan pada orang lain, adapun kalau pengakuan itu untuk orang lain maka namanya: tuduhan.
    Sebagai contoh:
    Kalau Ahmad mengatakan: Saya punya hutang pada Utsman sebesar satu juta rupiah dan belum saya bayar. Maka ini namanya iqror (pengakuan), adapun kalau dia berkata: Utsman punya hutang padaku sebesar satu juta rupiah dan belum dia bayar, maka namanya tuduhan.
    حُجَّةٌ: dalil, maksudnya sebuah pengakuan bisa dijadikan sebagai sebuah hujjah.
    Adapun dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah:
    1. Firman Alloh Ta'ala:
    ... فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا...
    "Dan hendaklah orang yang berhutang tersebut mengimlakkan (apa pang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa pada Alloh Robb nya dan janganlah dia mengurangi sedikitpun dari hutangnya." (QS. Al Baqoroh/2: 282)
    Sisi pengambilan dalil dari ayat ini adalah: Alloh Ta'ala memerintahkan pada yang punya hutang untuk mendiktekan atau mengimlakkan pada si penulis akan hutangnya, sedangkan sebuah pendiktean tidak mungkin dilakukan kecuali dengan sebuah pengakuan. Dengan demikian berarti itu adalah sebuah hujjah.
    Juga firman Alloh Ta'ala:
    قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا
    "Alloh berfirman: Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?.' Mereka menjawab: 'Kami mengakui'." (QS. Ali Imron/3: 81)
    Di ayat ini Alloh m meminta pengakuan dari Bani Isro'il atas perjanjian yang sudah mereka buat. Seandainya sebuah pengakuan itu bukan hujjah, niscaya Alloh عزّوجلّ tidak akan menerimanya.
    2. Dalil sunnah
    Rosululloh صلى الله عليه وسلم menerima sebuah pengakuan dan menjadikannya sebagai dasar dalam menetapkan sebuah hukum, seperti tatkala Ma'iz datang dan mengaku berbuat zina, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم menjatuhkan hukuman rajam kepadanya, begitu pula dengan seorang wanita dari kabilah Ghomidiyyah yang juga mengaku berzina dan akhirnya dirajam oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم.
    3. Dalil aqli
    Tatkala seseorang mengaku sesuatu atas dirinya sendiri, maka yang nampak adalah bahwa dia berkata jujur, karena pada dasarnya seorang muslim adalah jujur dan tidak bohong, juga orang yang masih sehat akalnya tidak akan mengaku sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau memang itu bukan sebuah kebenaran.
    Adapun arti قَاصِرَةٌ adalah: terbatas, dalam artian bahwa sebuah pengakuan itu hanya merupakan hujjah bagi yang mengaku saja dan tidak berlaku pada orang lain.
    Misal kalau ada orang yang mengatakan: Saya dan Zaid pernah mencuri. Maka pengakuan ini bisa dijadikan hujjah untuk memberlakukan hukum mencuri bagi yang mengatakan tersebut, dan tidak berlaku bagi Zaid. Karena pengakuan hanyalah sebuah hujjah yang qoshiroh.
    Adapun bagi Zaid, maka hukuman bisa ditegakkan kalau bisa mendatangkan dua saksi terpercaya bahwa memang dia mencuri, kalau tidak maka sekedar pengakuan itu saja tidak bisa digunakan.
    Dari sini maka makna kaedah adalah:
    Sebuah pengakuan itu sebuah hujjah yang hanya berlaku bagi yang mengaku saja dan bukan untuk orang lain.
    Adapun yang bisa berlaku untuk orang lain adalah bayyinah atau bukti (Lihat kembali kaedah: Al bayyinatu alal mudda'i)
    Dan oleh sebab itulah maka sebagian para ulama' mengungkapkan kaedah ini dengan lafadz:
    اَلْبَيِّنَةُ حُجَّةٌ مُتَعَدِّيَةٌ وَ الْإِقْرَارُ حُجَّةٌ قَاصِرَةٌ
    Bukti itu hujjah yang berlaku untuk lainnya sedangkan pegakuan hujjah yang terbatas.

     
     



    Publication 1437 H_2016 M

    Kaidah Fiqh Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas

    Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf خفظه الله
    Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam
    Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal. 201-206
    Disalin dari» eBook Ibnumajjah.com

    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     
    Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
    Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger