Latest Post
Tampilkan postingan dengan label muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label muamalah. Tampilkan semua postingan

“Mengalah” Dalam Debat yang Tidak Bermanfaat

Written By Rachmat.M.Flimban on 19 Maret 2018 | 3/19/2018 09:01:00 PM

Fiqih dan Muamalah, Nasehat Ulama
“Mengalah” Dalam Debat yang Tidak Bermanfaat
Oleh: dr. Raehanul Bahraen
NaraSumber: Muslim.or.id

Maksud “mengalah” pada judul adalah segera meninggalkan debat kusir tersebut. Dunia internet dan media sosial merupakan sarana yang mudah untuk berdebat. Perlu diketahui bahwa berdebat khususnya debat kusir sangat merugikan apabila kita lakukan. Terutama di media sosial, walaupun kita sudah berniat berdiskusi dengan baik akan tetapi diskusi di internet dan media sosial tetap sangat sulit dilakukan.
Mengalah dari debat kusir, karena “kita tidak akan bisa menang debat melawan orang yang bodoh dan tidak beradab“.
Mengalah dalam debat, sebagaimana sebuah ungkapan:
وما جادلني جاهلٌ إلا وغلبني
“Tidaklah aku mendebat orang bodoh, pasti aku akan kalah”
Berdebat (apalagi di media sosial) menimbulkan banyak kerugian:
Pertama, Membuang-buang waktu yang berharga Waktu kita akan habis untuk berdebat kusir yang terkadang tidak ada ujungnya.
Kedua, Mengeraskan hati karena sering sakit hati dan berniat membalas. Padahal tujuan dakwah adalah menasihati dan yang namanya nasihat itu menghendaki kebaikan pada saudaranya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. [1]
Ketiga, Berdebat akan menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin, padahal kita diperintahkan agar menjadi saudara se-iman.
Nabi Sulaiman ‘alaihis sallam berkata kepada anaknya,
يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ
“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [2]
Keempat, Mengalah yaitu meninggalkan debat (walaupun nanti akan dikira akan kalah) bukanlah kalah yang sesungguhnya.
Mengalah untuk menang, mundur selangkah (mengambil kuda-kuda) untuk melompat jauh ke depan. itulah kemenangan bagi mereka yang berjiwa besar menghidari debat tidak berguna. Oleh karena itu mengalah dan meninggalkan perdebatan, pahalanya sangat besar.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” [3]
Kelima, Walaupun sebenarnya kita bisa menang dalam berdebat akan tetapi, bisa jadi dia menolak kebenaran karena gengsi kalah, padahal dia mengakui kebenaran telah datang.
Terkadang dakwah ditolak bukan karena materinya yang salah atau orang yang menyampaikan, tetapi cara dakwah yang tidak dapat diterima. Salah satunya adalah dakwah dengan debat kusir yang tidak bermanfaat.
Sekali lagi dakwah itu untuk kebaikan dan berniat kebaikan, perhatikan betapa tawadhu-nya Imam Syafi’i, beliau berkata
مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلا عَلَى النَّصِيحَةِ
“Tidaklah aku mendebat seseorang melainkan dalam rangka memberi nasihat.”[4]
Beliau juga berkata,
وَاللَّهِ ، مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا ، فَأَحْبَبْتُ أَنْ يُخْطِئَ
“Demi Allah, tidaklah aku mendebat seseorang melainkan berharap akulah yang keliru.” [5]
Semoga kita tidak terpancing ikut berdebat dan dihindarkan dari berdebat.

Catatan kaki:
[1] HR. Muslim 55/95
[2] Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi
[3] Shahih at-Targib wat Tarhib, jilid 1, no. 138
[4] Adabu Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu hal. 69
[5] Tabyinu Kadzbil Muftari hal. 340

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Makna Auliya Dari Sudut Pandang Fiqih (Bag. 1)

Al-Quran, Aqidah, Fiqh dan Muamalah

Makna Auliya Dari Sudut Pandang Fiqih (Bag. 1)

Oleh; Yarabisa Yanuar


Segala puji hanyalah milik Allah. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wa ba’duhu. Akhir-akhir ini negeri kita diramaikan dengan isu mengenai pemimpin non-muslim. Yang kemudian kerap dikaitkan dengan surat Al-Maidah ayat 51, yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ

لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al-Maidah: 51).

Masyarakat indonesia terbagi menjadi tiga kondisi dalam menghadapi isu ini, kondisi masyarakat yang pertama mengatakan bahwa yang dimaksud auliya (teman dekat) adalah juga berarti pemimpin, yang kedua mengatakan bahwa auliya ialah teman dekat atau teman setia dan tidak termasuk darinya arti pemimpin, dan yang terakhir adalah mereka yang tidak memperdulikan tentang hal ini.

Perbedaan ini semakin dipertajam dengan beredarnya berita bahwa dalam Al-Qur’an terjemahan yang beredar pun terjemahan yang dibawakan atas kata auliya pun berbeda-beda, beberapa edisi terbitan terjemahan Al-Quran yang beredar saat ini, kata auliya pada QS Al Maidah: 51 diterjemahkan sebagai teman setia. Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kemenag, Muchlis M Hanafi, menjelaskan bahwa terjemahan Al-Quran tersebut merujuk pada edisi revisi 2002 Terjemahan Al Quran Kementerian Agama yang telah mendapat tanda tashih dari LPMQ. Dan menurut beliau kata auliya di dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya.

Maraknya perdebatan mengenai makna dari tinjauan ilmu bahasa maupun tafsir menghasilkan perpecahan di kalangan masyarakat, sehingga sebagian tetap berpegang teguh untuk memilih pemimpin muslim, sebagian berpendapat bahwa tidak mengapa memilih pemimpin non-muslim selama memiliki kinerja yang baik dan membwa manfaat bagi masyarakat dibanding pemimpin muslim namun kinerjanya kurang baik.

Oleh sebab itu menarik untuk ditinjau bagaimana ushul fiqih memandang sisi pendalilan dari ayat-ayat yang menyebutkan tentang auliya agar dapat dikeluarkan hukum yang sesuai dengan pemahaman yang benar dan kokoh berdasar ilmu ushul fiqih yang berlandaskan pada akal sehat untuk memperbaiki banyaknya kemungkinan perbedaan pendapat jika peninjauan dilakukan dengan tinjauan ilmu bahasa dan tafsir.

Mengapa Mengambil Pandangan Ushul Fiqih

Bahwasannya ushul fiqih adalah disiplin ilmu berbasis logika sehat untuk memahami dalil-dalil, menghasilkan sebuah hukum atas suatu perkara yang diletakkan melalui kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama dalam memahami Qur’an dan Sunnah. Sehingga dalam praktiknya, dapat secara langsung dibahasakan kepada masyarakat awam dari sisi logika atau akal sehatnya, bukan sekedar bersandar pada terjemah, atau tafsir ulama tertentu. Secara sederhana, masyarakat awam akan memahami qur’an berdasarkan terjemah, yang mana kadang dapat dipalingkan maknanya oleh sebagian orang, sesuai kebutuhan mereka. Menjelaskan dari pandangan ushul fiqih adalah termasuk salah satu cara untuk membantah penyimpangan makna kata, yang dibangun atas dasar logika dan kaidah yang benar.

Makna kata Auliya

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat.” Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan.

Kata Auliya dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an, kata auliya disebutkan sebanyak 33 kali, Berikut ini adalah beberapa terjemah auliya yang berbeda dalam Qur’an terjemahan terbitan Departemen Agama Republik Indonesia:

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir menjadi PEMIMPIN, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)” (Q.S. 3. Aali ‘Imraan: 28).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN/PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (Q.S. 4. An-Nisaa’: 144).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (Q.S. 5. Al-Maa-idah: 57).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi TEMAN KEPERCAYAANMU orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” (Q.S. 3. Aali ‘Imraan: 118).

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi TEMAN SETIA selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman? Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. 9. At-Taubah: 16).

“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi PENOLONG bagi orang-orang kafir” (QS. 28. Al-Qashash: 86).

Sehingga dapat dilihat dari beberapa terjemahan tersebut bahwa terjemahan adalah sesuai konteks ayat. Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 – 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata auliya diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia.

Sehingga perbedaan terjemah ini adalah salah satu peluang dipalingkannya makna kata auliya sebagai pemimpin oleh sebagian orang. Salah satu cara untuk membantah makna yang menyimpang tersebut dapat dijelaskan melalui pandangan ushul fiqih.

Bersambung…..

Narasumber: Muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Fiqh; Larangan Menghadiri Jamuan Makan Khamer

Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Januari 2018 | 1/27/2018 10:52:00 PM

Fiqh dan Muamalah


Larangan Menghadiri Jamuan Makan yang Disediakan Khamer

Oleh. dr. Raehanul Bahraen


Seorang muslim akan berusaha menghadiri undangan dan jamuan makan orang lain, terlebih yang mengundang adalah serorang muslim juga. Memenuhi undangan mereka merupakan hak sesama muslim.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,


ﺣﻖ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺳﺖ : ﺇﺫﺍ ﻟﻘﻴﺘﻪ ﻓﺴﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺇﺫﺍ ﺩﻋﺎﻙ ﻓﺄﺟﺒﻪ، ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺳﺘﻨﺼﺤﻚ ﻓﺎﻧﺼﺢ ﻟﻪ، ﻭﺇﺫﺍ ﻋﻄﺲ ﻓﺤﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ فشمته ، ﻭﺇﺫﺍ ﻣﺮﺽ ﻓﻌﺪﻩ ﻭﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﻓﺎﺗﺒﻌﻪ

“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam: Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, jika dia mengundangmu maka datanglah, jika dia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasehat, jika dia bersin lalu mengucapkan Alhamdulillah maka doakanlah, jika dia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal maka iringilah jenazahnya “[1]

Terlebih undangan tersebut adalah undangan walimah nikah, maka harus dihadiri dan beberapa ulama berpendapat wajib hukumnya asalkan tidak ada kemaksiatan dalam acara tersebut. Menikah adalah hal yang sakral dan harus diketahui oleh orang banyak.

Pada suatu hadits terdapat perintah agar menghadiri undangan walimah nikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﺇِﺫَﺍ ﺩُﻋِﻰَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﻤَﺔِ ﻓَﻠْﻴَﺄْﺗِﻬَﺎ

“Jika salah seorang di antara kalian diundang walimah, maka hadirilah. ”[2]

Terdapat lafadz perintah dalam hadits ini yaitu (ﻓَﻠْﻴَﺄْﺗِﻬَﺎ) “hadirilah”, ini menunjukkan dalil wajibnya, karena hukum asal perintah adalah wajib sebagaimana kaidah fiqhiyyah,


الأمر يفيد الوجوب

“Perintah itu memberikan faidah wajib”

Terdapat hadits khusus menyebut larangan hadir dalam undangan atau jamuan makan yang di dalamnya dihidangkan khamer. Penyebutan hadits khusus ini adalah penekanan dan termasuk dosa besar.

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda,


ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻵﺧﺮ؛ ﻓﻼ ﻳﻘﻌﺪﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﺋﺪﺓ ﻳﺪﺍﺭ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﺨﻤﺮ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk pada meja makan yang di situ dihidangkan khamer (minuman keras)”.[3]

Sangat jelas bahwa ini adalah sarana/wasilah kuat untuk terjerumus dalam dosa besar minum khamer. Misalnya, bisa jadi ia tidak berniat minum, akan tetapi karena perasaan tidak enak dan terpengaruh oleh teman-temannya, ia pun akhirnya mencicipi khamer walaupun sedikit. Syaikh Bin Baz menjelaskan hal ini, beliau berkata,


ﻭﻷﻥ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻣﻌﻬﻢ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺸﺎﺭﻛﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻬﻢ ﺍﻟﺴﻴﺊ، ﺃﻭ ﺍﻟﺮﺿﺎ ﺑﻪ

“Duduk dengan mereka (jamuan yang ada khamer) akan menjadi wasilah/sarana bergabung dan ikut-ikutan dengan mereka melakukan perbuatan yang sangat jelek atau ini adalah bentuk ridha pada mereka.”[4]

Jamuan yang ada khamernya adalah suatu bentuk kemungkaran, tentunya kita harus mengingkari dan tidak ridha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣﻦ ﺭﺃﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻨﻜﺮﺍ ﻓﻠﻴﻐﻴﺮﻩ ﺑﻴﺪﻩ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻠﺴﺎﻧﻪ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻘﻠﺒﻪ، ﻭﺫﻟﻚ ﺃﺿﻌﻒ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ

“Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.”[5]

Demikian semoga bermanfaat

Artikel Muslim.or.id


Catatan kaki:

[1] HR. Muslim

[2] HR. Bukhari dan Muslim

[3] HR. Ahmad 1/20, Irwaaul-Ghalil 7/6-8 no. 1949

[4] sumber: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/3214

[5] HR. Muslim

Narasumber; Muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Berhubungan Badan Suami-Istri Itu Sedekah

Written By Rachmat.M.Flimban on 09 November 2017 | 11/09/2017 09:03:00 AM

Bahasan Utama  Keluarga

Berhubungan Badan Suami-Istri Itu Sedekah


Berhubungan badan suami-istri adalah sedekah dan merupakan suatu kebaikan yang diberi ganjaran pahala.

Dari Abu Dzar Al-Ghifari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »

“Hubungan badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.’”[1]

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa berhubungan badan/jima’ suami-istri memberikan keuntungan yang sangat banyak baik dunia maupun akhirat. Di akhirat mendapatkan pahala, sedangkan di dunia mendapatkan berbagai kebaikan-kebaikan termasuk kebaikan kesehatan fisik dan psikologis. Beliau berkata,

اعلم أن شهوة الجماع شهوة أحبها الأنبياء و الصالحون, قالوا لما فيها من المصا لح الدينية و الدنيوية, و من غض البصر, و كسر الشهوة عن الزنا, و حصول النسل الذي تتم به عمارة الدنيا و تكثر به الأمة إلى يوم القيامة. قالوا: و سائر الشهوات يقسي تعاطيهم القلب, إلا هذه فإنها ترقق القلب

“Ketahuilah bahwa syahwat jima’ (yang halal) adalah syahwat yang disukai oleh para nabi dan orang-orang shalih. Mereka berkata demikian karena padanya terdapat berbagai mashalat agama dan dunia berupa menundukkan pandangan, meredam syahwat dari zina dan memperoleh keturunan, yang dengannya menjadi sempurna bangunan dunia serta memperbanyak jumlah umat islam. Mereka berkata juga bahwa semua syahwat bisa mengeraskan hati jika ditunaikan kecuali syahwat ini, karena bisa melembutkan hati.”[2]

Dari segi kesehatan, jima’ memberikan beberapa manfaat, yaitu termasuk olah raga, latihan pernapasan, memperkuat tulang dan otot, menurunkan kolesterol, bisa meredakan nyeri, melindungi prostat serta mengeluarkan hormon-hormon alami yang bermanfaat bagi tubuh.

Untuk kesehatan psikologis, jima’ juga memberikan banyak manfaat seperti membuat pikiran menjadi fresh dan lebih bersemangat. Perhatikan beberapa nukilan berikut,

Ibnu ‘Uqail Al-Hambil berkata,

كنت إذا استغلقت على مسألة، دعوت زوجتي إلى الفراش,فإذا فرغت من أمرها قمت إلى قراطيس أصب العلم صبا. لأن الجماع يصفى الذهن ويقوى الفهم.

“Ketika aku terkunci (mentok) pada suatu permasalahan (ilmu), maka aku panggil istriku untuk berhubungan badan. Ketika aku selesai, maka aku ambil kertas dan aku tuangkan ilmu padanya (mulai menulis)”, karena jima’ dapat membersihkan fikiran dan menguatkan pemahaman.”[3]

Al-Junaid berkata,

✍🏻 وكان الجنيد يقول : أحتاج الى الجماع كماأحتاج الى القوت. فالزوجة على التحقيق قوت وسبب لطهارة القلب. ولذللك أمر رسول الله كل من وقع نظره على إمرأة فتاقت اليها نفسه ان يجامع أهله.

“Aku membutuhkan jima’ sebagaimana aku membutuhkan makanan. Istri itu hakikatnya adalah asupan badan dan menjadi sebab bersihnya hati. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan kepada setiap lelaki yang melihat perempuan lalu bersyahwat, maka Hendaknya ia menggauli istrinya.”[4]

Laki-laki yang sudah menikah dan mendapatkan istri untuk menyalurkan hasrat syahwatnya akan memiliki pikiran yang tenang dan tentram serta produktif. Ini yang dimaksud dengan menyempurnakan setengah agama sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.”[5]

Maksud menyempurnakan agama adalah telah lebih terlindungi dari fitnah ujian syahwat dan zina, karena ia sudah menyalurkannya kepada yang halal, seorang wanita yang ia cintai yaitu istrinya.

Al-Qurthubi menjelaskan maksud hadits,

“Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertakwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.” Makna hadis ini bahwa nikah akan melindungi orang dari zina. Sementara menjaga kehormatan dari zina termasuk salah satu yang mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Beliau mengatakan, ‘Siapa yang dilindungi Allah dari dua bahaya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, yaitu dilindungi dari dampak buruk mulutnya dan kemaluannnya.’[6]

Semoga Bermanfaat


Catatan kaki:


[1] HR. Muslim no. 1006

[2] Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah hal 91, Darul Aqidah, Koiro

[3] Quwwatul Qulub karya syaikh Abu Thalib Al-Makkiy

[4] Ihya ‘ulumuddin hal. 389

[5] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625

[6] Tafsir al-Qurthubi, 9/327


Narasumber Artikel: Muslim.or.id Penulis, dr. Raehanul Bahraen

Topics: hubungan suami istri, jima', keutamaan jima', pahala jima', suami istri


About Author

dr. Raehanul Bahraen

Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Kedokteran Umum UGM, dosen di Universitas Mataram, kontributor majalah "Kesehatan Muslim"

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Fiqih Islam; Pengertian Fiqih

Written By Rachmat.M.Flimban on 31 Mei 2017 | 5/31/2017 12:31:00 AM


Fiqih Islam
Pengertian Fiqih
Oleh. Redaksi Muslim.Or

Fiqih Islam Pengertian Fiqih Fiqih menurut bahasa berarti 'paham', seperti dalam firman Allah:

"Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak mengerti sedikitpun?" (QS An Nisa: 78) dan sabda ...Oleh Redaksi Muslim.Or.Id 15 Mei 2008

Pengertian Fiqh

Fiqih menurut bahasa berarti 'paham', seperti dalam firman Allah:

"Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak mengerti sedikitpun bicara?" (QS An Nisa: 78)

Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah tanda akan kepahamannya." (Muslim no 1437, Ahmad no 17598, Daarimi no 1511)

Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:

Pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at yang berhubungan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari'at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang berarti terperinci, is nash-nash al quran dan as sunnah dan yang Bercabang darinya yang be ijma 'dan ijtihad.

Hukum-hukum syari'at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi ini yang pertama di gunakan untuk mencari hukum-hukum (seperti seseorang ingin mengetahui apakah ada sesuatu yang wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sementara yang kedua adalah untuk Hukum-hukum syari'at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya syarat syarat, rukun-rukun, kewajiban-jawab, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari'at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf - memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain.

Masa Aqidah yang berhubungan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian itu keimanan kepada Allah-lah yang bisa membuat seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan.

Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram.

Contohnya:

Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu sarana dalam keiman kepada Allah kumpulan firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, kamu sedang mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki." (QS Al Maidah: 6)

Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, persembahan firman-Nya:

"(Yaitu) orang-orang yang membentuk sembahyang dan menunaikan zakat dan ini yakin akan ada negeri akhirat." (QS. An naml: 3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak mungkin untuk korban satu persatu. (Lihat Fiqhul Manhaj hal 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia Tidak ragu lagi menjadi kehidupan manusia rentang segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia ini untuk memperhatikan semua aspek ini dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari'atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan agar timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih islam islam hukum dan hukum .

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari'at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, dan Ijma '(kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab terbagi menjadi tujuh bagian, yang Kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik baik pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

Hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah .

Hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia dan hubungan mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa penuh, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu'amalah.

Hukum-hukum yang berhubungan dengan jawab-jawab pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari'at, serta yang berhubungan dengan kewajiban-jawab rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma'siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar'iah .

Hukum-hukum yang berhubungan dengan hukum terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti kali terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Al 'Ukubat .

Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berhubungan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar .

Hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.

Demikianlah kita bisai fiqih islam dengan hukum-hukumnya mencakup semua kebutuhan manusia dan mengingat semua aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang ada dalam fiqih islam kembali ke empat sumber:

1. Al-Qur'an

Al Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.

Ia adalah sumber pertama untuk hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu masalah, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.

Sebagai contoh:

Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita pergi ke Al Qur'an niscaya kita akan di dalam firman Allah subhanahu wa Ta'ala: (QS Al Maidah: 90)

Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hal hukum hal tersebut di Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275).

Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak mungkin untuk di perinci satu persatu.

2. As-Sunnah

As-Sunnah itu semua yang bersumber dari Nabi itu perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan / sabda Nabi:

"Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran." (Bukhari no 46, 48, muslim no 64, 97, Tirmidzi no 1906,2558, Nasa'i no 4036, 4037, Ibnu Majah no 68, Ahmad No 3465, 3708)

Contoh perbuatan:

Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no 3413, dan Ahmad no 23093, 23800, 34528) apakah 'Aisyah pernah ditanya: "Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumah?" Aisyah menjawab:

"Dia Membantu keluarga; Kemudian bila datang waktu shalat, dia keluar untuk menunaikannya. "

Contoh persetujuan:

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no 1267) apakah Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi said: "Shalat subuh itu dua rakaat", orang tersebut menjawab, "sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum Subuh, maka saya kerjakan sekarang. " Lalu Nabi shollallahu'alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya wahah shalat shalat disyari'atkannya Sunat Qabliah subuh ini setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur'an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur'an maka kita turun ke as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita melakukan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu'alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.

Seperti Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur'an dari apa yang berarti global dan umum.

Seperti perintah shalat; Maka bagaimana tatakaranya didapati dalam sebagai Sunnah.

Oleh karena itu Nabi bersabda: "Shalatlah kalian mendapatkan aku shalat." (Bukhari no 595)

Pula sebagai-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak bisa dijelaskan dalam Al Qur'an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

3. Ijma '

Ijma 'akal: Kesepakatan semua ulama mujtahid dari umat Muhammad shollallahu'alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum syar'i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama itu-baik pada generasi sahabat atau nantinya-akan suatu hukum syari'at maka kesepakatan mereka adalah Ijma ', dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma' hukumnya wajib. Dan dalil akan hal ini sesuai yang dikabarkan Nabi shollallahu'alaihiwasallam , maka akan umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah rodiallahu'anhu , apakah Nabi shollallahu'alaihiwasallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah menguatkan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan." (Tirmidzi no 2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:

Ijma para sahabat ra dari kakek ada di bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki tidak ada bapak.

Ijma 'merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak berada di dalam Al Qur'an dan yang pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita lihat, apakah hal tersebut sudah disepakatai oleh para ulama muslimin, sudahlah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.

4. Qiyas

Yaitu: Mencocokkan perkara yang tidak diperoleh di dalam hukum syar'i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum, sebab persamaan sebab / alasan antara kedua. Pada qiyas inilah kita meruju 'bangun kita tidak akan ada dalam suatu hukum dari suatu masalah, baik di dalam Al Qur'an, sunnah maupun ijma'.

Ia merupakan sumber rujukan setelah Al Qur'an, seperti Sunnah dan Ijma '.

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki empat rukun:

Dasar (dalil).

Masalah yang akan diqiyaskan.

Hukum yang ada pada dalil Kesamaan penyebab / alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:

Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur'an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu "memabukkan" ada pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram pula pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari'at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( Fiqhul Manhaj 'ala Manhaj Imam Syafi'i ).

Sumber: Majalah Fatawa dikeluarkan kembali oleh Muslim.or.id

Sumber Artikel: Muslim.or.id

 


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Nasehat; Manfaatkanlah 5 Perkara Sebelum Menyesal

Written By Rachmat.M.Flimban on 30 Mei 2017 | 5/30/2017 04:24:00 AM

Manfaatkanlah 5 Perkara Sebelum Menyesal

Manfaatkanlah 5 perkara sebelum 5 perkara. Jika di masa muda, sehat, kaya, waktu senggang sulit untuk beramal, maka sesuka cita ini pun semoga semangat. Ditambah lagi kalau benar-benar sudah datang kematian, bisa jadi yang ada gambar penyesalan dan tangisan .

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu' anhuma , Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang,

اغتنم خمسا قبل خمس: شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك

" Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara

(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

( 2 ) Waktu Sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

( 3 ) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

( 4 ) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

(5) Hidupmu sebelum datang matimu. "

(HR Al Hakim dalam Al Mustadroknya 4: 341. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun tidak masuk dalam daftar. Dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ghonim bin Qois mengatakan,

كنا نتواعظ في أول الإسلام: ف آ آ آ آ ف ف وفي حياتك لموتك

"Di awal-awal Islam, kami juga saling menasehati: wahai manusia, beramallah di waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, beramallah di waktu mudamu untuk masa tuamu, beramallah di kala sehatmu sebelum datang sakitmu, beramallah di dunia untuk akhiratmu, dan beramallah saat hidup Sebelum datang matimu. "(Disebutkan dalam Hilyatul Auliya ' . Dinukil dari Jaami'ul' Ulum wal Hikam , 2: 387-388).

Semua itu kata Ibnu Rajab Al Hambali merintangi kita dalam beramal dan sebagiannya melalaikan kita seperti pada sebagian orang. Lihat saja saat seseorang fakir dibanding saat ia kaya, lihat pula saat sakit, sudah menginjak masa tua atau bahkan mati yang tidak mungkin lagi beramal. (Lihat Idem , 2: 388).

Jika waktu muda sudah malas ibadah, jangan harap waktu tua bisa giat.

Jika waktu sehat saja sudah malas shalat, semoga susah saat sakit bisa semangat.

Jika saat kaya sudah malas sedekah, jangan sampai saat ini bisa keluarkan harta untuk jalan kebaikan.

Jika ada waktu luang enggan ilmu agama, jangan sampai saat ini bisa duduk atau menyempatkan diri untuk meraih ilmu.

Jika hidup sudah enggan bertakwa dan terjemah jilbab, apa sekarang mau tunggu mati?

Lihatlah mereka yang menyesal,

وأنفقوا من ما رزقناكم من قبل أن يأتي أحدكم الموت فيقول رب لولا أخرتني إلى أجل قريب فأصدق وأكن من الصالحين (10) ولن يؤخر الله نفسا إذا جاء أجلها والله خبير بما تعملون (11)

" Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami namakan bersama sebelum datang kematian untuk salah seorang di antara kalian; Lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa kamu tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku bisa bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" Dan Allah-kali tidak akan akan menangguhkan Sudah sempat hadir waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan. "(QS Al Munafiqun: 10-11).

Hanya Allah yang memberi taufik untuk memanfaatkan lima perkara sebelum lima perkara.


Saat Shubuh hari, 9 Safar 1435 H di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul

Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Disusun di Warak, Panggang, Gunungkidul, @ Pesantren Darush Sholihin , shubuh hari, 9 Safar 1435 H


Akan segera terbit buku terbaru karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, yaitu Buku Mengenal Bid'ah Lebih Dekat (harga: Rp.13.000, -). Bagi yang ingin melakukan pre order, kirimkan format pemesanan via sms ke no 0852 0017 1222 atau via PIN BB 2AF1727A: Buku Bid'ah # Nama # Alamat # no HP. Nanti akan diingatkan saat buku sudah siap untuk dikirim.

Sumber Artikel: Rumaysho.com


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Rukun-Rukun Shalat

Written By Rachmat.M.Flimban on 12 Mei 2017 | 5/12/2017 02:55:00 AM

Rukun-Rukun Shalat
Fiqih dan Muamalah
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua:

Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama:

Berdiri bagi yang mampu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]

Rukun kedua:

Takbiratul ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga:

Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]

Rukun keempat dan kelima:

Ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ … ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْكَعُ فَيَضَعُ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِىَ
“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.

Rukun keenam dan ketujuh:

I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]

Rukun kedelapan dan kesembilan:

Sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”

Rukun kesepuluh dan kesebelas:

Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ …
“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[9]
Bacaan tasyahud:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,
“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota)[11]
Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد الله والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.”[13]
Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[14]

Rukun kelimabelas:

Salam
Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]
Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada
Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.

Bookmark;
[1] HR. Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain.
[2] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[3] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit
[4] HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397.
[5] HR. Ad Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[6] Sudah disebutkan takhrijnya.
[7] Idem
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.
[10] HR. Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 402.
[11] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] Point ini adalah tambahan dari Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Kholafiy, hal. 89, Dar Ibni Rojab, cetakan ketiga, tahun 1421 H.
[13] Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977.
[14] HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh.
[15] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[16] Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188, Maktabah Al Ma’arif.
17 Pembahasan rukun shalat ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

Dinukil dari Sumber Artikel Muslim.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. HOSE AL ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger